Hidup dengan Penuh Arti


Hidup di dunia fana ini sementara. Setiap hari umur kita terus berkurang. Hidup adalah berjalan menuju kepastian yaitu kematian. Kematian datangnya tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Kapan pun dan di mana pun, kita semua pasti akan menemuinya.
"Idza hamlta ila al-quburi janazatan fa'lam binnaka ba'daha mahmulu, wa idza wulita umura qawmin sa'atan fa'lam biannaka ba'daha ma'zulu. Bila anda mengusung keranda (jenazah) ke kuburan, maka ketahuilah bahwa suatu saat anda akan diusung pula, dan bila anda dipercaya untuk menjadi pemimpin, maka ketahuilah bahwa suatu saat anda akan dimakzulkan juga." Demikian kata-kata hikmah.
Bahkan pesan Nabi saw menyatakan, "Ahbib ma ahbabta fainnaka mufariquhu, wa'isy ma syi-ta fainnaka mayyitun wa'mal ma syi-ta fainnaka mujziun bih. Cintailah apa atau siapa saja, tapi sadarilah bahwa anda akan berpisah dengan semuanya itu, hiduplah sesuka anda, tapi yakinlah bahwa anda pasti mati, dan berbuatlah sesuka anda, tapi ingatlah bahwa anda akan dapat balasan atas perbuatan anda itu." (H.R. Al-Thabrani)
Umur umat Muhammad saw sekitar 60 atau 70 tahun, dan sangat sedikit yang dapat melampaui umur 70 tahun. Kita kalkulasi umur kuantitatif kita sampai pada 60 tahun, misalnya. Setiap hari adalah 24 jam. Setiap hari kita menghabiskan waktu untuk tidur 8 jam, maka 1/3 hidup kita atau 20 tahun digunakan untuk tidur. Sisanya 2/3 atau 40 tahun hidup kita, seberapa banyak kita gunakan untuk bekerja, sosial kemasyarakatan, ibadah kepada Allah dan lain-lain.
Bagaimana kita menggunakan dan mengelola umur kuantitatif kita menjadi umur kualitatif? Lakukan hal yang baik dan bermanfaat. Sebaik-baik keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat, kata Nabi saw. 
Sekarang juga, tidak usah menunda waktu. Sebab belum tentu esok kita masih bisa menghirup udara seperti saat membaca tulisan ini. Maka, teruslah berkarya, teruslah menginspirasi.
Kata bijak, "innama al-marú haditsun ba'dahu fa kun haditsan hasanan li man wa'â. Sesungguhnya seseorang yang setelah tiada akan menjadi cerita, maka jadilah anda cerita yang baik bagi yang mendengarnya," penting juga kita renungkan.
Hidup itu proses. Kita menapakinya mesti sabar, telaten, penuh ketekunan, fokus dan mencintainya tidak dengan setengah hati.
Seperti membelah durian, ternyata mudah dan tidak terlalu sulit. Asal kita mau ikuti "ajaran" atau garis dan alur yang ada di sela-sela duri-durinya yang tajam dan menyeramkan itu. Hatta, kita bisa menikmati kelezatannya.
Atau seperti memakai batu bacan, untuk sampai pada maqam jadi dan mengkilap, memancarkan pesona dan auranya, kita harus sabar, tekun, telaten dan fokus mengelus dan merawatnya. Mencintainya tidak dengan setengah hati. Tidak lengah dan terbuai.
"Tarju al-najaata wa lam tasluk masaalikahaa inna al-safiinata la tajri 'ala al-yabas. Anda mengharap keberhasilan tapi tidak menempuh jalannya, sesungguhnya ibarat bahtera tidak mungkin berlayar selama masih tertambat di daratan/dermaga," kata Abu Al-'Atahiyah, penyair Irak. Begitulah hidup, kata kyai saya saat menjadi santrinya di pondok pesantren Daar El-Qolam Gintung, 28 tahun lalu. []

■ Tulisan ini dipublikasikan di Qureta.com pada 10 April 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku