Jangankan Gubernur, Jadi Presiden Pun Bisa


Dalam hitungan hari, pilkada DKI Jakarta akan segera digelar. Hari pemungutan suara dalam menentukan Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta untuk lima tahun ke depan sudah di depan mata.
Tanggal 15 Februari 2017 adalah peristiwa yang paling penting dan menentukan bagi tiga paslon gubernur dan wakilnya, Agus Harimukti Yudoyono dan Silviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, Anies Baswedan dan Sandiaga S. Uno, untuk menjemput takdir mereka memimpin Jakarta.
Sebenarnya pada hari itu, tidak saja DKI Jakarta, tetapi daerah-daerah lain pun di Indonesia---sebanyak 101 pilkada, terdiri atas 7 Provinsi, 76 kabupaten dan 18 kota---menggelar pilkada serentak 2017.
Hanya saja dari sekian pilkada, tidak bisa ditampik bahwa, pilkada DKI Jakarta adalah yang sangat menarik dan menjadi pusat perhatian yang membetot hampir seluruh pasang mata publik di seantero negeri ini.
Selain tiga paslonnya yang luar biasa, tetapi juga pigur dari tokoh-tokoh yang menyertainya, seperti Megawati, Prabowo Subianto dan Soesilo Bambang Yudoyono.
Selain itu, hadirnya fenomena calon gubernur pejawat Ahok yang dimejahijaukan sebagai tersangka perkara penodaan agama dengan didahului "foreplay" aksi unjuk rasa berjilid itu (aksi 411 dan aksi 212) dan tampaknya unjuk rasa politisasi agama ini terus berlanjut (aksi 112 esok) dan memanas sampai hari "H" pencoblosan suara.
Sekali lagi, ini jelas-jelas unjuk rasa politisasi agama. Wajar, ada yang menyebut pilgub DKI Jakarta ini sebagai cita rasa pilpres.
Dari tiga paslon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tersebut, sesungguhnya bisa dipastikan bahwa mereka memang memiliki kelebihan masing-masing dan pantas memimpin Jakarta lima tahun mendatang. 
Mereka jelas tidak diragukan lagi sudah siap menjadi Gunernur dan wagub DKI Jakarta. Masing-masing calon gubernur dengan lantang menyatakan dirinya, "Akulah Gubernurnya."
Cagub AHY misalnya, yang dari awal disebut-sebut sebagai cagub yang hanya suka loncat-loncat melulu karena aksinya meloncat dari atas panggung ke tengah-tengah kerumunan pendukungnya.
Di samping itu juga diklaim tidak jelas visi misinya dan takut debat karena selalu mangkir tidak mau hadir untuk undangan debat calon gubernur yang digelar oleh beberapa stasiun televisi sebelum debat cagub yang resmi diadakan oleh KPUD DKI Jakarta.
Tetapi keraguan publik terjawab sudah setelah AHY tampil dalam dua kali debat resmi KPUD walaupun masih tampak seperti sedang menghafal draft. Yang penting AHY telah mematahkan anggapan publik terhadapnya selama ini.
Berbeda dengan cagub petahana Ahok yang sejak awal tidak habis-habisnya diserang dengan berbagai cara untuk menjatuhkan kredibilitasnya secara pribadi dan elektabiltasnya dalam pilkada DKI ini.
Ia tetap memperlihatkan kepercayaan dirinya dengan terus bersemangat menyampaikan yang tidak sekadar program dan janji saja tetapi bukti keberhasilan kerjanya dalam berbagai bidang sebagai gubernur DKI selama ini dalam memimpin dan melayani warga Jakarta menjadi lebih baik, maju dan sejahtera. 
Maka, kalau cagub yang lain selain Ahok menyatakan, "Akulah Gubernurnya," tetapi Ahok lebih lagi, ia dengan meyakinkan dan menyatakan, "Tapi tetap, Akulah Gubernurnya."
Lain lagi dengan Anies Baswedan. Ia memang dikenal publik selama ini sebagai sosok yang santun dan lebih pantas menjadi seorang motivator ketimbang seorang gubernur DKI. 
Jadi, kalau ngomong mantan Mendikbud yang dipecat ini lebih pada bersifat wacana dan tidak nyata, teoritis dan tidak realistis, melulu mengawang dan tidak membumi. Anies tampaknya sekadar layak sebagai seorang pengkhayal dan pendongeng saja ketimbang seorang pekerja dan pelayan masyarakat.
Anies Baswedan yang sekarang sudah berbeda dengan sosok Anies yang dulu dikenal dengan gerakan "menenun kebangsaan dan kemajemukan NKRI", "Indonesia Mengajar", "turun tangan membangun bangsa" dan santun, tapi Anies sekarang sebaliknya tampak lebih garang dan hilang kesantunannya.
Itu terutama bisa terlihat setelah debat cagub yang kedua. Inkonsistensi dan ketidaksetiaan pada integritas pribadinya, mengkhianati diri dan cita-citanya selama ini. Ditambah lagi dengan menyambangi markas FPI dan bertemu dengan Rizieq Shihab demi mendulang suara di pilkada, maka lengkap sudah Anies sebagai "bunglon" yang haus kekuasaan.
Padahal DKI Jakarta sebagai ibu kota negara dan kota megapolitan dengan kompleksitas masalah yang ada membutuhkan gubernur plus. 
Artinya, pilkada DKI Jakarta saat ini tidak sekadar memilih seorang gubernur, tetap sekaligus seorang gubernur yang pemimpin, manajer, pamong, pekerja yang gigih, pelayan masyarakat dan bukan hanya ingin dilayani.
Inovator, problem solver, berani mendobrak birokrasi, bekerja yang terukur dan tepat guna, berani melawan fitnah, berpikir di luar kelaziman (think outside of the box).
Juga mampu menjadi teladan, pluralis dan promotor toleransi. Ia tidak boleh diskriminatif dan harus mampu membawa ibu kota Jakarta benar-benar lebih maju, modern, sejahtera dan dapat sejajar dengan ibu kota negara-negara lain di dunia.
Bahkan boleh dibilang bahwa menjadi gubernur DKI Jakarta itu adalah kawah candradimuka dan cikal bakal untuk menjadi calon presiden dan pemimpin masa depan bangsa ini. Semua karakter kepimpinan tadi, tidak berlebihan kalau dinyatakan ada pada sosok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ini.
Tidak berlebihan juga tampaknya apa yang telah dinyatakan almarhum GusDur pada Ahok ketika itu, "Jangankan menjadi gubernur, menjadi presiden RI saja, keturunan Tionghoa, kamu bisa...!"
Selebihnya, tergantung pada warga Jakarta yang punya hak memilih yang akan menentukan siapa gubernur DKI Jakarta yang akan datang. Yang jelas, semoga pilkada serentak 2017, termasuk pilkada DKI ini berjalan aman, lancar, sukses, damai, terhindar dari politik uang dan kecurangan. Selamat merayakan pesta pora demokrasi! []

■ Tulisan ini dipublikasikan di Qureta.com pada 10 Pebruari 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku