Lebaran Atau Lebayan?


Dengan berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadan (bulan ke-9) dan merayakan hari Idul Fitri 1 Syawal 1437 H (bulan ke-10) di hari ini, kita betul-betul berasa seperti berada di hari yang baru, kita baru terlahir kembali laiknya bayi yang baru lahir setelah dikandung selama 9 bulan dan 10 hari dalam rahim ibu.
Kembali suci dan fitrah. Innocent atau tidak bersalah. Silaturahim dan memohon maaf -- bisa kirim "parcel" do'a untuk yang sudah meninggal -- terutama kepada yang telah melahirkan dan membesarkan kita, ayah dan ibu, juga keluarga, kerabat, handai tolan dan saudara-saudara kita adalah salah satu refleksi dari pesan puasa Ramadan dan Idul Fitri.
Kita kembali ke 'rahim' dan kesejatian diri. Inilah yang kerap kita lakukan sebagai aktualisasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan (baca: Islam Nusantara) dalam bentuk tradisi dan kearifan lokal, yang populer dengan tradisi halal bi halal. Islamis dan sekaligus Indonesiais.
Keislaman dan keindonesiaan, ditambah lagi kemodernan, sebenarnya adalah sebagian di antara konsep pemikiran yang diusung dan digagas oleh salah seorang pemikir Islam dan tokoh pembaruan Islam Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (CakNur) -- Allahu yarham -- sejak lama sepanjang hidupnya dan sampai hari ini terus digaungkan dan dilanjutkan oleh "anak-anak sejarah" CakNur (bisa disebut CakNurian begitu).
Bahwa kini akhirnya muncul konsep (bahkan menjadi semacam jargon) "Islam Nusantara" sebenarnya, jujur adalah murni cita-cita CakNur beserta "ahli waris" pemikirannya selama ini. Islam Nusantara, kalau boleh disebut, adalah kristalisasi dari cetak biru pemikiran CakNur.
Salah satu implikasinya bahwa berislam itu memang tidak mesti menjadi dan atau seperti orang Arab (kearab-araban). Apa yang datang dari Arab itu sejatinya tidak melulu -- tidak semua dan bukan berarti menafikan realitas sejarah Islam itu sendiri -- diklaim sebagai tradisi Islam, ditelan bulat-bulat sebagai sunah Nabi, dan bahkan paling Islami.
Karena masalahnya kalau begitu, yang bukan Arab berarti kurang atau tidak Islami, sehingga tidak berhak menyebut dirinya sebagai umat Nabi Muhammad saw? Bukankah Nabi sendiri bahkan menegaskan "tidak ada yang membedakan antara orang Arab dan bukan orang Arab ('azamy), kecuali ketakwaannya"?
Sikap mengkafirkan (takfir) terhadap orang lain yang berbeda pahamnya seperti inilah yang kemudian semakin menggejala, dan wajib dihindari. Haram hukumnya sikap mengkafirkan itu. Alquran juga menyatakan seperti itu. Sikap paling benar sendiri di satu sisi dan orang lain di sisi lain adalah salah dan sesat, akhirmya muncul ke permukaan dan memang sudah menjadi masalah serius di kalangan intern umat Islam, akhir-akhir ini.
Padahal pemahaman yang berbeda itu hampir melulu berkisar pada hal-hal sepele, bukan prinsip dan ajaran pokok dalam Islam. Justru karena berbeda paham dalam hal-hal yang khilafiyah saja. Sebagai contoh kecil, misalnya menyangkut soal-soal penampilan luar dan cara berpakaian.
Memanjangkan jenggot dan memakai celana "ngatung" itu misalnya, dianggap lebih Islami dan sesuai sunah Nabi. Padahal kalau saja disadari dan dipahami pesan dan asbabul wurud hadis Nabi tentang ini -- walaupun memang bunyi teksnya seperti itu adanya, tapi mestinya dilihat secara kontekstual berdasarkan asbabul wurud-nya.
Masa gara-gara mencukur abis jenggot secara "klimis" dan tidak pakai celana "ngatung", serta merta diklaim tidak mengikuti sunah Nabi? Padahal bukankah Abu Jahal dan orang-orang kafir quraisy saat itu juga berjenggot? Bukankah itu artinya juga mengikuti sunah Abu Jahal?
Atau bukankah tukang sate Madura juga hampir rata-rata pakai celana "ngatung"? Kalau begitu bukankah sama saja itu artinya mengikuti sunah tukang sate? Dalam membaca sunah Nabi sejatinya bisa memilah mana sosok Nabi Muhammad sebagai Nabi, utusan Tuhan dan mana sebagai sosok manusia biasa yang bisa jadi terbatasi oleh rasa kemanusiaan dan tradisi di mana ia hidup.
Jadi mana yang betul-betul murni sunah Nabi sebagai utusan Tuhan dan mana yang bukan. Ini penting untuk membedakan mana yang sunah dan mana yang bukan sunah, tapi hanya sekadar adat kebiasaan orang Arab dan tradisi Nabi sebagai manusia biasa (basyar).
Terlepas dari konsep keislaman dan keindonesiaan tadi, tapi ada hal yang menarik di hari lebaran seperti ini, tampaknya sudah menjadi tradisi tahunan dan sudah semacam rutinitas -- sebenarnya adalah hal yang baik dan positif -- ketika hampir semua orang mendadak begitu religius.
Berharap semoga tidak sekadar pada momentum ini saja, namun terus berlanjut di hari-hari ke depan. Masih tetap berpikir positif bahwa hal itu bisa jadi merupakan cara mengungkapkan kegembiraan dan kesyukuran yang tidak berlebihan dan bukan dibuat-buat. Mudah-mudahan saja ini tidak "lebay".
Yang jelas, selamat berlebaran 1437 H. Ja'alanallahu min al-'aidin wa al-faizin. Saya mohon maaf. Kita tetap berharap betul, semoga kita tetap selalu disayang dan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, Allah SWT.
Nah lho, apakah saya juga ikutan "lebay"? Jangan-jangan. []

■ Tulisan ini dipublikasikan di Qureta.com pada 06 Juli 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku