Menikah, Mengapa Tidak?


"Ya Allah ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (qurrata a'yun) dan jadikanlah kami sebagai teladan bagi orang-orang yang bertakwa".



Menikah, Mengapa Tidak?
Oleh Muis Sunarya

Pernikahan, di samping merupakan peristiwa hukum, juga peristiwa agama dan sekaligus adalah peristiwa budaya. Tiga aspek (hukum, agama dan budaya) inilah terutama yang lebih melekat dengan prosesi pernikahan.
Dalam aspek hukum, pernikahan atau perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Untuk kepastian hukum, antara lain misalnya, perkawinan harus dicatat oleh instansi yang berwenang sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Orang yang beragama Islam, perkawinannya dicatat melalui Kantor Urusan Agama (KUA), sementara orang non-Islam dicatat melalui Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dan seterusnya.
Sedangkan aspek agama dan budaya, secara inheren dan kasat mata, terlihat dari saratnya muatan ajaran agama, kesakralan dan kesucian, adat istiadat dan tradisi dalam prosesi pernikahan.
Dengan menikah, yang jelas, kesediaan menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan, mau tidak mau, adalah sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari. Menikah adalah menyatukan dua orang yang berbeda.
Berbeda dalam segala hal. Tapi bukan berarti tidak bisa berdampingan dan menyatu. Ibarat rel kereta api, dua sosok yang berbeda sebagai sepasang suami istri harus berjalan sejajar, seiya sekata, hatta bahagia sehidup di dunia dan bahagia sesurga di akhirat.
Suami istri memiliki hak dan kewajiban yang sama, sejajar dalam pandangan hukum. Kehidupan rumah tangga bukan sebuah perlombaan yang berujung pada kemenangan atau kekalahan. Tapi ia adalah proses kerja sama yang apik dan tak kenal lelah dalam mewujudkan cita-cita bersama yaitu kebahagiaan keluarga.
Pernikahan, oleh karena itu, adalah perjanjian yang kuat (mitsaqan gholidza), yang membutuhkan tanggung jawab, pengorbanan, saling memberi dan menerima (take and give), saling asah asih asuh, saling menjaga amanah dan setia pada janji dan komitmen sebagai sebuah konsekuensi dan sebab-akibat.
Dari awal, suami istri mesti menyadari itu semua, sebagai keniscayaan dalam sebuah ikatan pernikahan. Banyak pengalaman yang pasti dirasakan sepanjang hidup berumah tangga. Pengalaman yang mengharu biru, penuh keringat dan air mata, sampai-sampai kepala dijadikan kaki dan kaki dijadikan kepala, jatuh bangun bahu membahu membangun mahligai kehidupan rumah tangga adalah sebuah keniscayaan itu sendiri.
Mengayuh dan mendayung bahtera, menari bersama ombak, memecah gelombang, menghalau angin, untuk berlabuh sampai ke pantai bahagia adalah cita-cita bersama. Begitu kurang lebih sekilas gambaran perjalanan hidup dalam berumah tangga. Hidup bersama dalam suka dan duka, dalam kebersahajaan, kedamaian dan keharmonisan.
Dalam rentang waktu hidup berumah tangga, atas kekuasaan, kehendak dan takdir Tuhan, kehadiran buah hati adalah rahmat, amanat dan sekaligus investasi yang tak ternilai, baik biologis, spiritual maupun sejarah bagi orang tua. Mereka lahir tentu untuk menambah keindahan, melengkapi kebahagiaan dan menggenapkan kehidupan sebuah keluarga.
Berangkat dari situ, peran dan tugas sebagai orang tua semakin berat. Orang tua dituntut untuk lebih fokus membesarkan, mendidik dan menghantarkan mereka, buah hati tercinta, menjadi anak-anak yang baik, (saleh), bermanfaat dan mandiri dalam menghadapi masa depan mereka yang cerah dan mencerahkan.
Kewajiban orang tua juga adalah membekali anak-anaknya dengan nilai-nilai luhur dan akhlakul karimah, menanamkan terus-menerus nilai spiritual, cinta kasih, empati, sikap berbagi, perhatian, dan seterusnya, yang merupakan sikap-sikap terpuji dan nilai-nilai universal dalam diri mereka.
Pada gilirannya, adalah kebanggaan, kesyukuran dan kebahagiaan luar biasa bagi orang tua, bila anak-anak mereka betul-betul memahami dan menyadari pentingnya semangat belajar, kepekaan sosial, arti sebuah proses, keharusan aktualisasi diri dan adaptasi dengan lingkungannya.
Ini semua dilakukan karena anak-anak, sekali lagi, adalah amanat yang harus selalu mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya. Dan semua itu adalah penting bagi anak-anak dalam menyongsong kehidupan mereka ke depan sebagai masa depan mereka sendiri. Anak-anak dalam hal ini bagi orang tua adalah seperti apa yang ditulis Khalil Gibran dalam sajaknya, "Sang Anak". 

Anakmu bukan milikmu, mereka adalah putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri.

Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu. Sebab pada mereka ada alat pikiran sendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya, hingga anak panah itu melesat jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cipta dalam rentangan tangan Sang Pemanah. Sebab Dia mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.
Dengan kata lain bahwa tugas dan peran orang tua itu tentu sangat berat dan upaya tak kenal lelah dengan sekuat tenaga harus terus dilakukan untuk hasil yang terbaik, khususnya dalam membuka jalan seluas-luasnya bagi buah hati sebagai harapan dan penyejuk hati orang tua (qurrota a'yun) untuk mengembangkan potensi dan kreativitas mereka.
Untuk itu, menikahlah. Mengapa tidak? Karena Nabi sendiri menegaskan bahwa menikah itu adalah gaya hidup Nabi. Siapa yang tidak mau mengikuti gaya hidupnya, maka ia termasuk bukan umatnya.
Bagi yang sudah siap menikah, baik lahir maupun mental, segera daftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil setempat dengan membawa syarat-syarat sebagai berikut : fotokopi ktp dan kartu keluarga, surat kehendak nikah (N1), surat asal usul (N2), surat ketetangan orang tua (N4) -- semua berkas ini dari kelurahan, pas foto berukuran 2 x 3 sebanyak 4 lembar dan berukuran 4 x 6 sebanyak 1 lembar, surat keterangan belum menikah bermaterai Rp 6000, surat rekomendasi nikah dari KUA setempat, melampirkan surat izin kawin bagi anggota TNI/Polri, melampirkan akta cerai atau keterangan kematian suami/istri bagi duda/janda, dan terakhir untuk perkawinan campuran harus menyiapkan fotokopi paspor dan surat keterangan menikah dari kedutaan atau konsulat negara-negara asing di Indonesia.
Adalah penting juga diketahui bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Agama dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah atau Rujuk di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan, jelas dinyatakan nikah atau rujuk itu gratis atau Rp 0 (nol rupiah) kalau dilaksanakan di kantor KUA pada hari dan atau jam kerja. Dan wajib membayar sebesar Rp 600.000,- (enam ratus ribu rupiah) dan disetor langsung ke bank kalau pernikahannya dilaksanakan di luar kantor KUA dan atau di luar hari dan jam kerja. Makanya, bagi yang sudah siap dan mampu, ayo buruan nikah, jangan sampai menyesal malah! []

■ Tulisan ini dipublikasikan di Qureta.com pada 04 Juli 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku