Setahun Lebih Tua


Mendadak hari ini, di telepon genggam saya melaui media sosial dipenuhi ucapan selamat dan doa untuk hari ulang tahun saya—yang kata orang istimewa, tapi menurut saya, biasa-biasa saja. Sama dengan hari-hari yang lain, berjalan mengalir dengan apa adanya.
Bagi saya, dari sejak saya lahir sampai hari ini, yang namanya hari ulang tahun, tidak pernah dirayakan atau diadakan pesta seperti tiup lilin dengan memejamkan mata beberapa detik sambil membisikkan dalam hati dan pikiran tentang apa cita-cita, harapan dan keinginan ke depan—make a wish, istilahnya, sebagaimana laiknya kebanyakan orang. Tidak pernah ada itu.
Itu bukan berarti saya anti atau mengharamkannya, misalnya. Tidak begitu juga. Sebenarnya bagus-bagus saja dan tidak ada masalah. Saya hanya tidak biasa dan ada rasa tidak suka atau aneh saja. Maklum, bagi saya yang orang kampung memang tidak mengenal perayaan atau pesta ulang tahun seperti itu. Aneh dan jadul banget saya ya?
Kemudian apa artinya hari ulang tahun bagi saya? Kalau memang harus ada hari ulang tahun atau tidak, setiap hari bagi saya sekadar sujud syukur dan memanjatkan doa ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebagai refleksi kesyukuran dan kebahagian atas anugerah dan nikmat yang diberikan Tuhan adalah hal yang biasa dilakukan.
Hakikatnya, setiap hari adalah hari lahir. Everyday is a birthday. Setiap pagi hari selepas bangun dari tidur, selalu melafalkan kalimat syukur dan berdoa, “Puji syukur kehadirat-Mu ya Allah, yang telah menghidupkanku (kembali) setelah Kau mematikanku (sejenak saat tidur) dan kepada-Nya (kelak pasti) aku kembali", adalah bukti bahwa saya dilahirkan kembali atau dibangunkan lagi oleh Tuhan dari “kematian” saya beberapa jam lewat tidur.
Dengan adanya hari ulang tahun, kemudian ada ucapan selamat dan doa dari orang-orang terdekat dan sahabat, paling tidak merupakan perhatian yang luar biasa dan rasa sayang mereka pada saya. Hari ulang tahun juga dapat mengingatkan saya pada sosok biologis, spiritual dan sejarah perjalanan hidup saya, yaitu Ibu dan Ayah saya tercinta.
Ibu, terutama, yang telah merelakan rahimnya untuk saya tinggal beberapa bulan dan hari, kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari lamanya. Kemudian melahirkan saya dengan penuh susah payah.
Membesarkan dan mengasuh, mengajari saya melafalkan kata-kata, melatih saya untuk merangkak, duduk, berdiri dan berjalan memakai alat bantu yang dibuat oleh ayah dari bambu dan kayu kemudian ditancapkan di tanah untuk saya belajar berjalan berputar-putar di tempat, dan seterusnya.
Di kemudian hari, pada gilirannya saya memahami dan menyadari betapa awal-awal kehidupan saya dimulai dari situ. Ibu dan ayah adalah sekolah pertama bagi saya, yang sangat berpengaruh membentuk karakter dan kepribadian saya selanjutnya. Spiritual, kasih sayang, cinta, kepedulian, perhatian, dan sebagainya adalah kali pertama ditanamkan oleh mereka pada diri saya.
Ibu dan ayah adalah guru yang cerdas, teladan, hebat, berjasa, dan sangat menyenangkan bagi saya—tentu tanpa menafikan guru-guru saya di sekolah yang juga berperan menyertai perjalanan hidup saya. Hari ini, saya rindu mereka. Terima kasih, hormat dan sayang saya pada Ibu dan ayah. Sehat dan keberkahan selalu untuk mereka berdua yang saya cintai.
Hari ini, tidak terasa usia saya setahun lebih tua lagi dari tahun kemarin. Waktu terus berjalan. Hari-hari akan terus saya lewati. Alhamdulillah, saya bersyukur atas kesempatan menghirup udara yang gratis dan anugerah luar biasa diberikan Tuhan pada saya sampai detik ini.
Terima kasih juga untuk orang-orang terdekat yang saya cintai dan sahabat semuanya yang sudah memberikan perhatian dengan ucapan selamat dan doanya untuk saya. Saya mengamininya dan semoga Tuhan mengabulkan. []

■ Tulisan ini dipublikssikan di Inspirasi.co pada 05 April 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku