Tuhan pun Sakit, Lapar dan Haus


Ketika datang bulan Rajab, salah satu bulan dalam kalender Islam, kita diingatkan pada peristiwa fenomenal pada empat belas abad silam yaitu peristiwa Isra Mi’raj. Rajab adalah bulan ketika Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan bertemu dengan Tuhan.
Perjalanan “wisata” spiritual, sebuah “kado istimewa” dari Tuhan untuk Nabi kita setelah ditinggal pergi istrinya tercinta, Khadijah dan pamannya yang sangat ia sayangi, Abu Thalib untuk selama-lamanya. Wajarlah, kalau kemudian Nabi merasa kehilangan dan begitu berduka. Sehingga dalam sejarah, saat itu disebut sebagai tahun duka cita (am al-huzni)
Nabi kita itu miraj, naik bertemu Tuhan.  Berada pada zona (maqam) sangat tinggi dalam dunia tasawuf. Zona yang nyaman dan menjadi cita-cita setiap traveller (salik). Tapi Nabi tetap tidak sombong dan tetap tidak lupa untuk turun lagi kembali membumi. Nabi itu hebat. Ketika sementara sebagian orang dan kebanyakan sufi enggan untuk turun saat berada di atas dan keluar dari tempat yang nyaman (comfort zone).
Rajab identik dengan salat. Oleh-oleh Nabi dari perjalanan ini, Isra Mi'raj, yaitu diterimanya perintah salat dari Tuhan. Salat lima waktu yang kita lakukan ini. Salat adalah mi’raj, naiknya seorang yang beriman bertemu dengan Tuhan. Wajib ini. Tapi kalau hanya ini saja, percuma bahkan celaka, kata Alquran juga.
Bertemu dengan Tuhan, tidak cukup sekadar dengan salat, puasa, zakat, haji dan ritual-ritual lain yang bersifat personal dan simbol kebaikan individu, tapi kebaikan sosial juga wajib. Makanya, Tuhan pun sakit, lapar dan haus. Minta dijenguk, diberi makan dan minum.
Dalam sebuah hadis qudsi Allah swt berfirman, “Wahai anak Adam! Aku sakit mengapa engkau tidak menjenguk-Ku, ia berkata: Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam. Allah berfirman: Engkau tahu bahwa seorang hamba-Ku sakit di dunia, akan tetapi engkau tidak menjenguknya, seandainya engkau menjenguknya sungguh engkau akan dapati Aku di sisinya.”
“Wahai anak Adam, Aku meminta makan kepadamu, mengapa engkau tidak memberi-Ku? Orang itu berkata: Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan sedangkan engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah berfirman: Engkau mengetahui ada dari hamba-Ku yang kelaparan dan engkau tidak memberinya makan, sekiranya engkau memberinya makan, niscaya engkau dapati Aku di sisinya.”
“Wahai anak Adam Aku meminta minum padamu sedang engkau enggan memberi-Ku minum. Ia berkata: Wahai Tuhanku, bagaimana aku memberi-Mu minum sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam? Allah menjawab: Seseorang meminta minum padamu dan engkau tak memberinya, sekiranya engkau memberinya minum niscaya engkau dapati Aku di sisinya.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengandung pesan bahwa kesalihan individu tanpa dibarengi dengan kesalihan sosial adalah muspra. Itulah kenapa Tuhan pun sakit, lapar dan haus.
Artinya, ketika kita ingin bertemu Tuhan kita, maka temuilah segera saudara kita yang tengah ditimpa kemalangan, berbaring sakit, dan kelaparan.
Tidak sedikit hadis Nabi yang menyatakan pentingnya kesalihan individu bersanding dan berkelindan dengan kesalihan sosial. 
Salah satunya, bahwa kita tidak disebut sebagai orang yang beriman, kata Nabi, di saat kita tidur nyenyak dan perut kita kenyang, sementara pada saat yang sama, saudara kita, tetangga kita merasakan perutmya keroncongan karena kelaparan. []

■ Tulisan ini dipublikasikan di Qureta.com pada 09 April 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku