Zaskia Gotik dan Tolok Ukur Pancasilais


Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam beberapa hari terakhir ini, tiba-tiba kembali menjadi viral dan sempat menjadi topik pembicaraan hangat di negeri kita tercinta ini.
Hampir semua media sosial ramai membicarakan Pancasila, yang entah sejak kapan setelah sekian lama tak terdengar, bahkan kalau boleh dibilang nyaris raib dan senyap dari pendengaran kita, tergerus oleh pemberitaan issu-issu dan kasus-kasus kriminal serta fenomena sosial politik yang menyita perhatian dan pembicaraan orang di ruang publik.
Hal ini terjadi gara-gara ulah seorang pedangdut yang sedang naik daun dan kariernya tengah bersinar di dunia hiburan tanah air, yaitu Zaskia Gotik. Saat ia tampil dalam acara reality show di salah satu stasiun televisi, menjawab pertanyaan salah satu pembawa acara yang berkaitan sekitar kapan proklamasi kemerdekaan RI dibacakan dan apa lambang sila kelima dari Pancasila.
Secara spontan dan dengan maksud melucu, Zaskia Gotik menjawab bahwa proklamasi kemerdekaan RI dibacakan setelah salat Subuh pada tanggal 32 Agustus dan lambang sila kelima dari Pancasila yaitu bebek nungging.
Sontak setelah acara tersebut, Zaskia Gotik menjadi bulan-bulanan dan protes keberatan publik di media sosial atas peristiwa itu, yang diklaim sebagai pelecehan dan penghinaan seorang Zaskia Gotik terhadap lambang negara, yang pada gilirannya, kasus ini dibawa ke ranah hukum dengan dilaporkannya Zaskia Gotik ke kepolisian, baik oleh Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) ataupun perorangan.
Sampai di sini, yang jelas, hari-hari ini, kasusnya masih berjalan. Walaupun tidak sedikit upaya permintaan maaf—sampai menulis surat ke Presiden Jokowi—dan penjelasan Zaskia Gotik melalui media sosial bahwa ia tidak punya niat melecehkan atau menghina lambang negara. Tapi ia hanya sekadar melucu agar jadi bahan tawa penonton dan diakui memang bahwa Zaskia Gotik tidak hafal Pancasila, bahkan pendidikannya pun, SD saja tidak lulus.
Terlepas dari persoalan hukum dan akhir dari proses hukum kasus Zaskia Gotik ini, yang terpenting dari segalanya, bahwa kasus ini sedikit banyak seyogyanya menjadi pelajaran moral (moral lesson) bagi kita dalam berbangsa dan bernegara bahwa soal Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara betul sudah final.
Tapi soal-soal yang menyangkut aktualisasi nilai-nilai Pancasila baik itu dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara secara yuridis formal, maupun dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai warga bangsa dalam ruang lingkup norma-norma dan pranata sosial, perlu menjadi pertanyaan dan perhatian serius dari berbagai pihak.
Semua kalangan masyarakat, tak terkecuali. Karena realitas sosial menunjukkan bahwa alih-alih aktualisasi dan pengamalan masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila, bahkan yang menyangkut internalisasi dan proses pendidikan moral dan nilai-nilai Pancasila pun sudah jarang sekali dilakukan.
Menengok ke belakang, dulu di era Orde Baru, di bawah rezim pemerintahan Presiden Soeharto, sekitar tahun 80-an dan 90-an, kita dikenalkan dengan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP), penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dilaksanakan oleh lembaga/badan negara bernama BP7 (Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Itu adalah contoh nyata dari upaya-upaya internalisasi, pendidikan dan pembudayaan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila di masyarakat walaupun upaya-upaya itu hasilnya tidak berbanding lurus dan benar-benar efektif dengan tujuan program nasional pemerintah saat itu. Tapi sedikit banyak nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai nasionalisme terawat dan terpatri dengan baik dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan menjadikan masyarakat yang Pancasilais.
Yang kurang lebih artinya bahwa perilaku masyarakat betul-betul mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila. Pada gilirannya, minimal jangan sampai kritik yang disuarakan oleh penyanyi Iwan Fals dalam lagunya Bangunlah Putra Putri Pertiwi bahwa “Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut yang hanya berisikan harapan, yang hanya berisikan khayalan” itu benar-benar terjadi.
Kembali ke kasus Zaskia Gotik tadi, kemudian muncul rumor dan semacam klaim, lantaran Zaskia Gotik tidak hafal sila-sila dari Pancasila, maka ia diklaim sebagai tidak Pancasilais.
Menghafal di luar kepala kelima sila dari Pancasila itu benar adalah penting, tapi lebih penting lagi adalah menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Adalah naif, kalau tolok ukur orang itu disebut Pancasilais adalah sekadar hafal kelima sila dalam Pancasila an sich, sementara perbuatan dan perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, bahkan bertolak belakang. Kalau begitu tolok ukurnya—menghafal di luar kepala kelima sila Pancasila, maka mudah sekali ternyata menjadi seorang Pancasilais itu. []

■ Tulisan ini dipublikasikan di Qureta.com pada 03 April 2016.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku