Penipuan Berkedok Agama: Dari Pilgub Sampai Umrah


Penipuan Berkedok Agama: Dari Pilgub Sampai Umra

Oleh Muis Sunarya


Aksi penipuan berkedok agama kembali terjadi. Belum selesai heboh kasus biro perjalanan haji dan umrah First Travel, kini dengan modus yang sama muncul lagi kasus yang dilakukan Abu Tours.
Langit suci seringkali sengaja dikoyak. Nilai agama dan kesakralan tak habis-habisnya dijadikan alat dan kedok menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan finansial dan material yang sesaat demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Agama juga kerap menjadi lahan yang amat subur untuk kepentingan politik. Masih terngiang dan masih membekas di ingatan kita, bagaimana sentimen dan motif agama menjadi alat untuk memenangkan calon di ajang pilgub DKI Jakarta yang lalu.
Suasana mencekam dan menegangkan membuncah dan mengaduk-aduk emosi publik saat itu. Gegara soal-soal agama membumbui realitas politik, dari soal ayat, mensalatkan mayat, masjid, sampai aksi unjuk rasa berjilid. Dan itu semua tentu sarat berlatarkan agama yang bermuatan politik. Artinya, bukan murni persoalan agama. Agama hanya dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik tertentu.
Wajar kalau ada yang menyebut bahwa pilgub DKI Jakarta yang lalu adalah modus penipuan terhadap publik yang berkedok agama. Kemenangan pilgub DKI adalah akumulasi dari aksi pengkhianatan dan penipuan atas nilai-nilai luhur kebangsaan dan nilai-nilai kesakralan agama. Pilgub DKI Jakarta adalah cermin retak untuk wajah demokrasi kita. 
Bercermin pada pilgub DKI Jakarta itu, bukan hil yang mustahal, pada pilpres 2019 mendatang, politisasi agama atau tipu muslihat berkedok agama akan menjadi tren. Hal itu tampak dari sekarang dengan adanya hoaks dan saling fitnah berseliweran beredar massif di media sosial seakan-akan kampanye pilpres sudah dimulai. Suasananya mulai terasa sudah memanas.  

Belum lagi almarhum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama hidupnya getol sekali mengusung keranda khilafah, bahkan ketika sudah sekarat dan mati pun masih tidak puas dan terus penasaran gentayangan ingin meruntuhkan NKRI dengan konsep khilafah yang sudah usang dan tidak Islami. Mendirikan negara dalam negara. Lagi-lagi, agama atau syariat Islam dijadikan sebagai kedok dalam setiap gerakan-gerakan politik almarhum HTI.
Untuk doktrin dan sejarah panjang keberadaan khilafah, adalah menarik dan mengasikkan membaca buku Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim dan buku terbaru Nadirsyah Hosen, Islam Yes, Khilafah No!: Doktrin dan Sejarah Khilafah dari Khalafu Ar-Rasyidin sampai Khalifah Umayah (Jilid 1).
Kedua buku ini sama-sama menceritakan drama sejarah politik Islam yang kelam, penuh intrik dan pertumpahan darah antar  saudara umat Islam sendiri, perilaku para khalifah yang menjijikan dan menyimpang jauh dari Islami, mencoreng citra Islam dan sungguh-sungguh menunjukkan khilafah yang merefleksikan politik Muslim yang tidak islami sama sekali.
Syukur pemerintah sigap melakukan pembubaran HTI secara hukum sebagai ormas tapi tujuannya jelas-jelas gerakan politik yang laten dan membahayakan. Walaupun tetap saja konsep dan pemikirannya masih terus digaungkan oleh antek-anteknya dan sangat memengaruhi publik. Makanya, jangan berhenti melawan HTI. Karena mereka adalah hantu yang akan terus bergerak dan bergentayangan tanpa bentuk. Sama HTI pun, lagi-lagi, melakukan penipuan yang berkedok agama.
Tidak perlu diceritakan di sini tentang ormas yang satu itu, yang selalu bawa-bawa Fentung Pembela Islam (meminjam istilah Prof. Nadirsyah Hosen). Sami mawon, bahkan lebih parah, karena selalu anarkis, pakai kekerasan dan tak segan-segan mencatut nama Allah dalam melakukan penipuan berbalut sorban dan berkedok agama.
Ada lagi yang pakai modus meminta sumbangan atau infak-sadaqah melalui lembaga seakan-akan resmi padahal fiktif mengatasnamakan sumbangan masjid atau lembaga panti asuhan dan anak yatim. Menyebar berkeliling dari rumah ke rumah atau bis ke bis. Tidak sedikit orang tertipu karena daya tarik pesan dan tema agama.
Termasuk yang terakhir dan masih hangat yang dilakukan oleh Biro Perjalanan Haji dan Umrah, Abu Tours---pemiliknya dari kaum berjenggot lagi, malu-maluin Parteisia (baca: Partaimu) saja--mengatasnamakan biro-biro perjalanan haji dan umrah, meraup uang jamaah dengan memanfaatkan antusiasme dan semangat keberagamaan umat Islam dalam menunaikan ibadah umrah, efek dari lamanya daftar tunggu untuk menunaikan ibadah haji. Ujung-ujungnya, melakukan penipuan terhadap jamaah demi finansial dan bisnis belaka. Itulah penipuan berkedok agama.
Lantas, kenapa ini semua terjadi? Banyak faktor pasti dan kompleks pula masalahnya. Yang jelas, paling tidak, tanya hati nurani dan akal sehat kita masing-masing: Apa yang keliru dalam berbangsa dan beragama kita selama ini? []

(Esai ini pernah dipublikasikan di Qureta.com pada tanggal 29 Maret 2018).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku