Kitab Suci itu Fiksi, Lelucon di Kelas Filsafat Semester Dua


Kitab Suci itu Fiksi, Lelucon di Kelas Filsafat Semester Dua

Oleh Muis Sunarya

Rocky Gerung menyatakan, kitab suci itu fiksi. Ia sampaikan itu di acara talkshow yang disiarkan live oleh salah satu stasiun televisi swasta.


Saat menyaksikan, saya tersenyum saja. Bagi saya, jujur, satu sisi, pernyataan "Kitab suci itu fiksi" yang dilontarkan RG biasa-biasa saja. Tidak aneh dan nggak masalah. Karena saya membayangkan bahwa diskusi itu adalah diskusi yang terjadi di kelas filsafat semester dua. Tampak ilmiah dan akademik, tapi seperti lelucon.


Makanya saya tersenyum saja, seperti juga RG ketika melontarkan pernyataan itu. Tampak dari air muka dan gesturnya, ia sambil tersenyum dan nyantai saja. Terlihat tidak ada beban sama sekali. Sepertinya ia tahu dan sadar bahwa pernyataannya akan menjadi kontroversi. Berisiko memunculkan perdebatan dan akan menjadi viral. Menyerempet dan masuk pada soal yang sangat sensitif dan teologis.


Dan benar saja, saat itu juga langsung direspons dan diinterupsi oleh Akbar Faisal, anggota DPR dari Partai Nasdem, yang merasa keberatan atas pernyataan RG. Inilah yang menjadi masalah, di sisi lain.


Realitasnya, dan ini tidak fiktif (kata sifat dari fiksi, bahasa Arabnya : khiyalun, artinya khayalan, antonimnya non-fiksi), RG menyampaikannya di ruang publik, di acara talkshow yang disiarkan live dan disaksikan publik, bukan di kelas filsafat semester dua tadi.


Akhirnya, soal ini benar saja menjadi viral sekarang. Dan tulisan ini sebagai respons yang ringan-ringan belaka.


Artinya, saya tidak akan menulis hal-hal yang njelimet dan mendebat tentang term-term filsafat yang berkaitan dengan pernyataan RG itu, tetapi mencoba memahami dan meneroka hal-hal di balik atau latar belakang pernyataan itu dilontarkan.


Baca juga: Rocky Gerung, Fiksi, Realitas, dan Kitab Suci


Anak-anak filsafat semester dua sudah biasa mendengar yang aneh-aneh dari ungkapan-ungkapan filsafat. Misalnya, Tuhan itu sudah mati, agama itu candu, Ana al-Haq (aku adalah Tuhan, kata Mansyur Al-Hallaj), Tuhan itu sekarang sedang bermain dadu, dan banyak lagi. Dan itu semua sudah dibahas di buku-buku filsafat.


Ungkapan itu tidak masalah selama didiskusikan di ruang kelas anak-anak filsafat. Lantas, kenapa RG melontarkannya di ruang publik atau acara yang disaksikan oleh publik yang beragam latar belakang pemikiran dan keilmuan, pendidikan, agama, dan status sosialnya? Itu yang sangat disayangkan, menjadi pertanyaan, dan lelucon laiknya acara stand up comedy.


Selain itu, terlepas apa yang disampaikan RG itu akademik, ilmiah, dan argumentatif, tapi RG seakan-akan sengaja melontarkan kata-kata nyinyir (ada kata dungu) dan sensitif itu. Sesuai dengan draft dan skenario yang sudah ia persiapkan sebelumnya, tentu saja.


RG tidak lagi memosisikan sebagai orang filsafat, tetapi, paling tidak, terlihat seperti sedang memerankan sebagai pengamat politik, atau bahkan seorang politikus dari salah satu partai politik. Tidak lagi netral sebagai seorang akademisi, tetapi sedang memihak kepada salah satu kubu politik dan memojokkan kubu lain yang berseberangan dan saling menyerang itu.


Sah, tapi bias jadinya. Atau jangan-jangan RG sekarang sudah menjadi kader salah satu partai politik oposisi yang sedang giat-giatnya dan habis-habisan menyerang pemerintah yang sedang berkuasa saat ini?


Coba saja silakan buka akun twitter RG. Di situ terbaca kata-kata nyinyir terhadap Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato menyinggung tentang kaos dan berhastag itu. Ditulis kata-kata yang kurang enak dibaca. Ini antara lain twitnya:


"Saya analisis begini: (1) Data: Gerak tangan dan gerak otak tidak sinkron. (2) Psikogram: Ada masalah dengan elektabilitas belio. Saya mau sebut “mangkrak”, tapi itu terkesan tak ilmiah. (3) Diagnosis: Belio kecewa dengan kedunguan bujer-bujer belio. #CaraBacaDataPakeOtak". (4) "Ngomel pake teks, sinkron gak tu otak?"


Pernyataan GR itu jelas-jelas bias. Ia tidak netral sebagai akademisi, tapi menyerang pribadi Presiden Jokowi dan pendukungnya. Ia bersikap seperti kelompok partai oposisi itu. Atau jangan-jangan ada pesanan biar dapat nasi bungkus?


Baca juga: Rocky Gerung, Sang Sofis di Zaman Hoax


Padahal, menurut hemat saya, salah satunya, filsafat itu seperti pisau. Ia adalah alat, cara bernalar. Tergantung mau digunakan untuk apa pisau itu. Pisau itu bisa digunakan untuk hal yang baik atau buruk, berdampak positif atau negatif, bermanfaat atau merusak, tergantung yang menggunakannya (si pengguna).


Filsafat juga bukan untuk dipertentangkan dengan agama. Karena agama dan filsafat itu dari awal sudah berbeda wilayah dan ruang lingkupnya, tapi bisa berjalan beriringan, saling membutuhkan dan membantu dalam keberlangsungan hidupnya. Kalau terus dipertentangkan, sudah pasti tidak bakal ketemu.


Hanya saja tumben, partai yang satu itu atau alumni 212, yang biasanya semangat sekali bela Islam, tapi kali ini, sama sekali tidak merasa tersinggung dan tidak marah-marah dengan kata-kata RG, "Kitab Suci itu fiksi". Apa mereka sedang amnesia bahwa Kitab Sucinya adalah wahyu Allah, bukan fiksi (antonimnya non-fiksi)?


Padahal, terlepas penjelasan RG tentang makna fiksi tersebut, bukankah dengan begitu Kitab Suci sama saja dengan kitab-kitab atau buku-buku yang lain? Bukankah itu adalah proses desakralisasi Kitab Suci? Apakah benar pernyataan RG ini seakan-akan menyamarkan (kamuflase, nggak jelas) identitas dan sikap kaum Islam liberal (moderat) dan Islam fundmentaslis (islamis)?


Bahkan, kali ini mereka ramai-ramai membela RG. Sampai-sampai jubir partai itu mengomentari RG dengan " Prof, keren pake logikanya!" Konon, entah benar atau tidak, RG bukan profesor, tapi baru S1 dan sudah bukan dosen UI lagi. Apa iya? Sekadar tanya saja.


Sekilas terbetik di hati saya dan terlintas di pikiran saya saat terjadi unjuk rasa berjilid mengiringi pilkada DKI Jakarta yang lalu yang berjalan sukses memenjarakan seorang yang dianggap telah melakukan penistaan, karena berani menafsirkan Kitab Suci yang fiksi itu.


Maaf, jangan salah paham, bukan mengungkit-ungkit yang sudah berlalu. Sekadar berharap bahwa itu yang terakhir dan tidak terjadi lagi orang menjadi narapidana karena penistaan agama dan kitab suci yang dianggap fiksi oleh RG dan pengikutnya.


■ Tulisan ini pernah dipublikasikan di Qureta.com pada tanggal 13 April 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku