Memahami Puisi, Menyelami Dunia Sufi


Memahami Puisi, Menyelami Dunia Sufi

Oleh Muis Sunarya

Ketika Syekh Siti Jenar didatangi para prajurit kerajaan yang akan menangkapnya, terjadi dialog. Para prajurit bertanya, "Apakah Syekh Siti Jenar ada?" Syech Siti Jenar menjawab, "Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada adalah Tuhan!"


Sontak para prajurit kaget. Lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, apakah Tuhan ada?" Dijawab, "Tuhan tidak ada, yang ada adalah Syekh Siti Jenar!"


Para Prajurit bertanya lagi, "Apakah Tuhan dan Syekh Siti Jenar ada?" Syekh Siti Jenar menjawab, "Tuhan dan Syekh Siti Jenar tidak ada, yang ada adalah Syekh Siti Jenar dan Tuhan." Kemudian, para prajurit lagi-lagi bertanya, "Apakah Tuhan dan Syekh Siti Jenar, Syekh Siti Jenar dan..."


"Cukup, cukup!" potong Syekh Siti Jenar. "Pulanglah kalian!" Para prajurit pulang dengan membawa tanya dan bingung.


Demikian bagian dialog yang saya ingat dan ikut terlibat bermain pada pementasan teater Tonggak saat menjadi mahasiswa IAIN Ciputat berjudul "Syekh Siti Jenar" tahun 1989 silam. Dialog ini melukiskan ekspresi paham keagamaan yang bersifat eksoterik dan esoterik. Yang pertama bersifat ritualistik (fiqih oriented) dan terakhir bersifat sufistik (sufism oriented).


Eksoterik lebih berorientasi pada formalitas, kulit luarnya, dan kasat mata, yang dalam dialog di atas diwakili oleh para prajurit yang merepresentasikan masyarakat umum (mainstream). Esoterik lebih berorientasi pada subtansi, isi, dan tersirat, yang direpresentasikan oleh Syekh Siti Jenar yang berpikir out of the box dan cenderung melenceng dari mainstream.


Memahami pemikiran dan pesan yang tersirat seperti yang tergambar dalam dialog Syekh Siti Jenar, atau tokoh sufi yang lain seperti Al-hallaj, Ibn Arabi, Jalaluddin Rumi, diperlukan keterampilan dan kemampuan pemahaman tersendiri sebagai alat. Perlu kecerdasan penuh. Tidak sembarang orang bisa memahami dan menafsirkannya. 


Karena pemikiran-pemikiran mereka lebih bersifat esoterik, metafisika, supranatural, dan spiritual, maka pendekatannya cenderung filosofis dan intuitif. Pemikiran seperti ini, dalam kajian tasawuf atau sufisme, termasuk katagori tasawuf falsafi.


Artinya bahwa setiap orang punya kebebasan memahami dan menafsirkan teks. Perkara apakah tafsirnya itu benar atau salah adalah relatif. Karena yang tahu persis hakikat atau makna yang sebenarnya adalah si empunya teks atau pembuat teks.


Dalam dunia tasawuf, seorang sufi bebas berekspresi sesuai keinginan dan kreativitasnya. Dan yang paling paham makna dan pesan yang tersirat hanya dirinya sendiri. Orang-orang di luar dirinya (kebanyakan) sekadar bisa meraba-raba, memahami, dan menafsirkan saja.


Pada gilirannya, benar dan tidaknya tergantung dan bersifat relatif tentu saja. Makanya ada adagium "La ya'lamu al-waly illa al-waly", yang tahu persis apakah seseorang itu wali adalah wali itu sendiri atau yang sama-sama wali.


Sama hal dengan karya sastra apa pun, termasuk yang disebut puisi. Hanya penulis puisi yang tahu dan mengerti makna dari puisi yang ia tulis. Orang lain di luar dirinya yang membaca karyanya hanya bisa menafsirkan dan meraba-raba makna yang sebenarnya. Syahdan, hanya yang mau membuka diri dan menyediakan hati yang bisa memahami dan menikmati karya sastra, termasuk puisi itu.


Ahmad Gaus, seorang penulis Senja di Jakarta, geram dengan aksi unjuk rasa terkait puisi Sukmawati. Saking geramnya, ia pun menulis di akun FB-nya bertajuk Untuk Apa Puisi Ditulis?.


Puisi ditulis untuk menyampaikan sesuatu yang tidak dapat disampaikan melalui tulisan jurnalistik, karya ilmiah, atau jenis karangan kreatif lainnya. Karena itu, cara membaca puisi berbeda dengan cara membaca koran, komik, laporan penelitian, tesis, novel, dll.


Puisi ditulis untuk mencipta dunia yang berbeda dengan dunia realitas. Karena itu, pembacaan heuristik-mimetik atas puisi sangat tidak memadai, dan akan melahirkan pemahaman sporadis, terpecah.


Puisi ditulis sebagai sign production daripada text production. Karena itu, pembacaan tekstual atas puisi akan melahirkan reduksi habis-habisan, dan menjerembabkan pembacanya ke jurang kata-kata.


Paham kamu? Kalau nggak paham, ya belajar, jangan marah-marah, bakar-bakar spanduk, demo.


Atau silakan diteroka puisi Ahmad Gaus yang lain, bertajuk Jangan Membaca Puisi, yang sangat keren dan mencerahkan ini.


Kalau engkau membaca puisi di permukaan saja

Engkau hanya akan menemukan kata-kata
Kalau engkau membaca puisi dari kata-katanya saja
Engkau hanya akan menemukan sepotong makna
Kalau engkau hanya membaca sepotong makna
Engkau akan murka, karena tidak menemukan apa-apa

Maka, jangan pernah membaca puisi

Tapi masuklah ke dalamnya
Sebab puisi ditulis tidak untuk dibaca
Melainkan untuk diteroka

Jangan juga mengutuki puisi

Sebab di sanalah tersimpan rahasia hati
Bahkan dirimu sendiri adalah puisi
Hanya saja engkau belum mengenalinya


Ketika publik di luar dirinya, di luar sana dan berada pada maqam (wilayah) "awam" yang jauh dari minat dan mengerti dunia lain di luar dirinya, baik itu dunia tasawuf (terutama bersifat falsafi) maupun dunia sastra, dalam hal ini puisi, misalnya, dipaksakan atau bahkan dicekoki sampai tumpah muntah sekalipun, maka yang terjadi adalah geger budaya, yang tak lebih sebagai sebuah kecelakaan kemanusiaan dan kejatuhan peradaban.


Kondisi ini menunjukkan lumpuhnya akal sehat dan hilangnya kewarasan. Bahkan bisa-bisa melahirkan segmen masyarakat yang psikopat. Menghakimi sebuah keyakinan, kreativitas, dan kebebasan berekspresi dengan kobaran api kemarahan yang meledak-ledak.


Pada akhirnya, berakhir dengan pembunuhan dalam arti sebenarnya, seperti yang dialami Al-Hallaj atau Syekh Siti Jenar, yang keduanya sama-sama menganut paham Wahdatul Wujud atau Manunggaling Kauwla Gusti; atau pembunuhan dalam arti lain, misalnya pembunuhan karaker, diasingkan, atau dipenjarakan, yang itu semua adalah upaya untuk mengamputasi kreativitas dan membelenggu kebebasan berekspresi.


Bukankah Alquran pun tersaji lewat karya puisi yang sangat indah, memesona, dan sarat makna tersirat? Para penafsir Alquran hanya berusaha dan berikhtiar atau melakukan ijtihad menyelami samudra makna Alquran. Kebenaran tafsir-fafsir itu tetap saja bersifat relatif. Kebenaran mutlak adalah Allah sendiri Yang Maha Agung dengan firman-Nya. Wallahu a'lam bi shawwab.


■ Tulisan ini dimuat dan dipublikasikan di Qureta.com pada tanggal 10 April 2018.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku