Perlukah Undang-Undang Perkawinan Direvisi?
Perlukah Undang-Undang Perkawinan Direvisi?
Oleh Muis Sunarya
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sudah empat dekade lebih berjalan pelaksanaannya. Dalam rentang waktu itu, kini muncul wacana revisi atas undang-undang ini. Alasannya, karena sudah out of date dengan perkembangan zaman.
Untuk merespons wacana perlu tidaknya revisi atas UUP ini, ada baiknya dikutip tulisan Cak Nur berjudul "Undang-Undang Perkawinan" secara utuh di bawah ini.
Berita yang menarik perhatian dalam beberapa hari terakhir ini ialah apa yang terjadi sekitar Rencana Undang-undang Perkawinan.
Lebih-lebih lagi berita adanya demonstrasi pada sidang DPR (pilihan rakyat) ketika mendengarkan jawaban pemerintah atas pemandangan umum anggota-anggota. Demonstrasi itu dilakukan oleh anak-anak muda, dengan tuntutan agar RUU itu dicabut.
Membaca atau mendengar berita itu tentu mengingatkan orang kepada peringatan Wapangkopkamtib Sudomo tentang SARA yang peka dan berbahaya. Dan tentu orang segera menggolongkan
Entahlah tindakan apa yang akan diambil oleh yang berwajib atas pelaku-pelaku demonstrasi i7tu. Tetapi jika diingat bahwa demonstran gundul sorangan wan Farouk Afero hanya berkenaan dengan persoalan film nasional di depan balaikota saja sudahmembuatnya diinterogasi, maka — jika analog ini berjalan — dapatlah diterka apa yang akan dialami oleh demonstran yang tidak sorangan wae (massal), dalam gedung DPR, dan tentang masalah dalam unsur SARA (perkawinan termasuk satu daerah garapan agama) dengan disertai yel-yel “panggilan berjuang” tersebut.
Sebab tidaklah sesulit memecahkan teka-teki mana yang lebih dulu — telur atau ayam — demonstrasi tersebut adalah reaksi atas munculnya RUU yang merupakan aksi.
Memang mengherankan bahwa dalam segi-segi yang lain— untuk kepentingan stabilitas dan keamanan — pemerintah begitu berhati-hati dalam soal-soal yang menyangkut agama, tetapi dalam soal RUU itu dapat “kecolongan” begitu besarnya. Ukuran “kecolongan” yang berkonotasi negatif di sini bagi penulis bukanlah teologi murni (bisa sangat kontroversial intern suatu agama sendiri), tetapi dari segi sosiologi agama, yaitu nilai-nilai agama yang secara konkret telah disosialisasikan oleh para pemeluknya di Indonesia ini.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu kecolongan sampai ke
tingkat ini kalau saja meniru orang-orang Belanda penjajah dulu, yaitu mempunyai penasihat-penasihat urusan keagamaan. Sebab jika seseorang memahami agama sebagaimana apa yang ada pada masyarakat Indonesia tentu mengetahui secepat ia membaca RUU itu bahwa ada hal-hal yang amat sensitif dan memancing reaksi besar.
Sayang sekali bahwa kejadian-kejadian yang dapat merugikan gambaran diri (image) pemerintah, itu terjadi pada saat-saat menjelang diakhirinya Pelita I.
Dulu, ketika persoalan beras muncul, orang begitu keras mengkhawatirkan akibatnya yang akan mempertipis kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, sebab isu beras itu timbulnya pada saat menjelang Pelita I disudahi.
Sekarang, dengan RUU Perkawinan yang telah terlanjur menimbulkan opini, di mana pertimbangan-pertimbangan keagamaan kurang diperhatikan pemerintah, apakah tidak akan mengurangi kepercayaan orang banyak terhadap kemauan baik dan adil pemerintah kepada kehidupan keagamaan? Mana yang lebih berbahaya diukur dari norma ketertiban dan keamanan — orang sekadar kurang kenyang karena tidak dapat makan sebanyak dikehendaki (sebab beras mahal) atau orang yang kehilangan rasa keamanan agama? Maka sebetulnya peringatan Sudorno — seperti saran Kompas dalam sebuah tajuknya — berlaku dan seharusnya ditujukan kepada semua pihak secara two-waytraffic communication ala Pak Mashuri, yaitu antara pemerintah dan masyarakat.
Oleh Muis Sunarya
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan sudah empat dekade lebih berjalan pelaksanaannya. Dalam rentang waktu itu, kini muncul wacana revisi atas undang-undang ini. Alasannya, karena sudah out of date dengan perkembangan zaman.
Untuk merespons wacana perlu tidaknya revisi atas UUP ini, ada baiknya dikutip tulisan Cak Nur berjudul "Undang-Undang Perkawinan" secara utuh di bawah ini.
Berita yang menarik perhatian dalam beberapa hari terakhir ini ialah apa yang terjadi sekitar Rencana Undang-undang Perkawinan.
kegiatan demonstrasi tersebut sebagai pelanggaran atas peringatan pejabat itu.
Sudah tentu tidak ada salahnya dalam peringatan Sudomo. Semua kita setuju. Tetapi timbul pertanyaan: Apakah peringatan
itu ditujukan kepada mereka yang termasuk ke dalam golongan para demonstran penentang RUU Perkawinan itu — antara lain — ataukah kepada mereka yang menciptakan biang keladinya?
Memang mengherankan bahwa dalam segi-segi yang lain— untuk kepentingan stabilitas dan keamanan — pemerintah begitu berhati-hati dalam soal-soal yang menyangkut agama, tetapi dalam soal RUU itu dapat “kecolongan” begitu besarnya. Ukuran “kecolongan” yang berkonotasi negatif di sini bagi penulis bukanlah teologi murni (bisa sangat kontroversial intern suatu agama sendiri), tetapi dari segi sosiologi agama, yaitu nilai-nilai agama yang secara konkret telah disosialisasikan oleh para pemeluknya di Indonesia ini.
Sebetulnya pemerintah tidak perlu kecolongan sampai ke
Sekarang, dengan RUU Perkawinan yang telah terlanjur menimbulkan opini, di mana pertimbangan-pertimbangan keagamaan kurang diperhatikan pemerintah, apakah tidak akan mengurangi kepercayaan orang banyak terhadap kemauan baik dan adil pemerintah kepada kehidupan keagamaan? Mana yang lebih berbahaya diukur dari norma ketertiban dan keamanan — orang sekadar kurang kenyang karena tidak dapat makan sebanyak dikehendaki (sebab beras mahal) atau orang yang kehilangan rasa keamanan agama? Maka sebetulnya peringatan Sudorno — seperti saran Kompas dalam sebuah tajuknya — berlaku dan seharusnya ditujukan kepada semua pihak secara two-waytraffic communication ala Pak Mashuri, yaitu antara pemerintah dan masyarakat.
Sekarang bagaimana jalan keluarnya? Sebuah Undang-Undang Perkawinan jelas diperlukan oleh masyarakat kita. Apalagi ditinjau dari segi kepentingan kaum wanita, dalam UUP itu terdapat nilai
perjuangan yang sudah puluhan tahun umurnya. Tetapi masyarakat pada umumnya, termasuk juga kaum wanita di dalamnya, menghendaki agar suatu UUP kalau dapat merupakan pencerminan nilai-nilai asasi keagamaan mereka, sekurang-kurangnya tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan nilai-nilai itu. Maka sebetulnya jalan keluar yang dapat ditempuh mudah saja. Jika RUU sekarang ini yang menjadi titik-tolak, maka hal-hal yang dianggap bertentangan dengan nilai hak asasi agama tidak perlu dimasukkan. []
Komentar
Posting Komentar