Haji Mabrur


Haji Mabrur
Oleh Nurcholish Madjid

Di kalangan kaum Sufi terdapat sebuah dongeng yang menggambarkan tentang haji mabrur. Konon ada sepasang suami-istri, yang tidak terlalu kaya, bersusah payah menabung untuk pergi haji.

Saat pergi haji tiba mereka mengadakan perjalanan ke Makkah dengan berjalan kaki dan naik unta. Ketika melewati sebuah kampung yang sangat miskin, mereka menyaksikan adanya anak-anak kecil terkena busung lapar. Tak urung suami-istri itu pun iba dan akhirnya memberikan semua bekal kepada orang di kampung itu.

Bagi mereka, haji memang merupakan perintah Tuhan, tetapi kepentingannya hanya untuk mereka berdua. Sementara ada orang satu kampung yang menurut mereka lebih membutuhkan, maka tabungan bertahun-tahun itu pun mereka berikan untuk menolong. Dengan sendirinya, mereka berdua tidak jadi pergi haji, lalu pulang kembali ke rumah.

Sampai di rumah ternyata sudah ada orang yang tidak dikenal
menunggu. Setelah memberi salam, orang itu mengucapkan,
“Selamat datang dari haji yang mabrur!” Suami-istri itu protes,
karena keduanya tidak merasa pergi haji, mengingat semua ongkos perjalanan sudah mereka berikan kepada orang yang lebih membutuhkan. Orang tak dikenal itu berkata, “Itulah haji mabrur!” Ia pun menghilang.

Ini memang sebuah dongeng, yang boleh jadi hanya cerita belaka. Tetapi ada pesan moral di balik cerita ini, yang menyampaikan bahwa sebenarnya yang lebih penting adalah memperhati­kan kemanusiaan, dan itu yang harus menjadi tujuan dari ibadah pergi haji. Haji mabrur tidak menyangkut masalah teknis, melainkan ruhani, yaitu kemampuan menangkap makna terdalam dari agama, yakni pesan-pesan kemanusiaan.

Apakah haji mabrur itu? Dalam sebuah hadis sahih disebutkan 
bahwa “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga”. Haji 
mabrur merupakan sesuatu yang sangat berharga dan karena itu 
menjadi tujuan setiap orang yang beriman. Biasanya pertanyaan apa sebenarnya haji mabrur itu dijawab dengan: haji yang memenuhi segala persyaratan fiqih! — artinya dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Dilihat dari segi bahasa, mabūr berarti baik. Ini mengacu kepada perkataan Arab untuk baik, yang salah satunya adalah al-birr (misalnya berbuat baik kepada orangtua istilah Arabnya birr-u 
’l-wālidayn). Kata birr ini misalnya dipakai dalam al-Qur’an, “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan (birr) kecuali kamu mendermakan 
sebagian dari hartamu yang kamu cintai,” (Q 3:92). Ayat ini tegas sekali, bahwa apa yang disebut kebajikan adalah kepedulian sosial. 

Semua ajaran Islam memang dirancang untuk memperkuat hubungan pribadi dengan Allah dan sekaligus memperkuat aspek konsekuensialnya berupa hubungan baik dengan sesama manusia. Contoh selain haji, misalnya perintah shalat, yang selalu terkait dengan perintah zakat. Ayat mengenai sembahyang dan menderma selalu bergandengan seperti, “dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat,” (Q 2:43), “mereka yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat,” (Q 5:55), dan seterusnya. Baik dalam bentuk perintah maupun dalam bentuk deskripsi mengenai orang-orang beriman, shalat tidak pernah dipisahkan dengan zakat.

Keterkaitan hubungan pribadi dengan Allah dan aspek konsekuensialnya berupa hubungan baik dengan sesama manusia juga tecermin dalam makna shalat itu sendiri yang dimulai dengan takbīrat-u ’l-ihrām dan diakhiri dengan salām. Takbīrat-u ’l-ihrāmadalah takbir sebagai lambang pengharaman semua kegiatan selain ingat kepada Allah, atau yang dalam istilah lain sering disebut hablun min-a ’l-Lāh, hubungan dengan Allah sebagai lambang dari iman, takwa dan sebagainya. Sedangkan salām, dengan anjuran menengok ke kanan dan ke kiri, merupakan lambang ajaran kebajikan bahwa kalau kita benar di dalam shalat maka kita harus mempunyai perhatian kepada masyarakat di sekeliling kita. Istilah yang sering dipakai untuk menyebut hal ini adalah habl-un min-a ’l-nās, hubungan dengan sesama manusia yang merupakan lambang dari amal saleh, yang wujud keibadatannya adalah mengeluarkan zakat dan bersedekah.

Begitu juga dengan Idul Adha — yang akan kita rayakan bebe­rapa hari mendatang — kita diperintahkan untuk mengingat
kembali pengalaman Ibrahim yang sangat berjasa dalam mengembangkan paham monoteisme, Ketuhanan Yang Maha Esa dengan segala pengorbanannya. Salah satu pengorbanan Ibrahim adalah
ketika dia diperintahkan Allah untuk menyembelih anaknya
tercinta, Isma’il, seorang anak yang sudah lama dinanti-nantikan sampai usia tua. Tetapi tiba-tiba setelah anaknya cukup dewasa, Allah memerintahkan supaya ia dsembelih, dikorbankan sebagai ujian dari Allah. Setelah Ibrahim betul-betul ingin mencoba melaksanakan perintah (setelah keduanya [Ibrahim dan Isma’il itu pasrah [aslama], memasrahkan dirinya dan ditelentangkan, kemudian hampir saja Ibrahim memotong leher anaknya, kemudian ditegur oleh Tuhan, “Ibrahim cukup sekian, kamu sudah mem­buk­tikan dirimu sebagai orang yang setia kepada Tuhan!” (lihat, Q 37:103-105).

Inilah habl-un min-a ’l-Lāh, yaitu mencintai Tuhan di atas segala-galanya. Jadi berkorban menyembelih binatang merupakan tindakan sombolik mencontoh Ibrahim dan menirunya dalam menghayati hubungan yang setia dan mendalam secara vertikal dengan Allah. Meskipun demikian, al-Qur’an mengingatkan bahwa yang sampai kepada Tuhan itu bukanlah darah atau daging korban itu, melainkan takwa yang ada di dalam dada. “Yang sampai kepada Allah bukan daging atau darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya ketakwaan kamu...,” (Q 22:37).  Dan berkorban menyembelih  binatang sendiri bertujuan sosial, yaitu memberi makan dengan
daging korban kepada orang-orang miskin.

Secara keseluruhan, haji juga berdimensi vertikal dan horizontal sekaligus. Kenyataannya bahwa sebagian besar ritual haji adalaht indakan-tindakan memperingati  Ibrahim, Hajar, dan Isma’il. Ketiga orang tersebut sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tauhid. Maka, sebenarnya, dimensi haji yang terutama adalah vertikal, tetapi efek yang diharapkan darinya sangat horizontal. Inilah yang dimaksudkan dalam haji mabrur: adanya keterkaitan antara segi vertikal (habl-un min-a ’l-Lāh) dalam ibadah,  dengan segi horizontal (habl-un min-a ’l-nās) dalam kerja-kerja kemanusiaan.

Seluruh ajaran agama, kalau coba divisualisasikan akan ber-
bentuk kerucut yang puncaknya adalah perikemanusiaan. Ini juga yang merupakan puncak dari seluruh pengalaman Nabi dalam
Haji — yang hanya beliau lakukan satu kali — seperti terlihat dalam Pidato Perpisahan di Arafah (yang akan kita bahas minggu depan, insya Allah), sehingga turun ayat yang terakhir mengenai kesempurnaan agama Islam. “Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu,” (Q 5:3).

Pesan-pesan perikemanusiaanlah
yang seharusnya ditangkap oleh orang pergi haji, sehingga ketika
pulang ia seharusnya memiliki perikemanusiaan lebih tinggi: Itulah haji yang mabrur! []


Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku