Ratna Sarumpaet dan Politisasi Hoaks
Republika.co.id |
Ratna Sarumpaet dan Politisasi Hoaks
Oleh Muis Sunarya
Peribahasa mengatakan: menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri; atau mencoreng arang di muka sendiri. Artinya, bila berbuat sesuatu yang jahat, perkara itu akan terkena kembali kepada kita sendiri.
Sepintar-pintarnya orang menyembunyikan bangkai, akhirmya tercium juga baunya. Ingin dapat untung, malah buntung. Begitu kira-kira ungkapan untuk melukiskan fenomena politik yang terjadi hari ini lewat fenomena Ratna Sarumpaet, Capres Prabowo Subianto, dan tim suksesnya.
Mengemas apik tentang hoaks, berita bohong dan fitnah yang keji untuk komoditas politik yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi dan pemerintahannya oleh partai-partai oposisi, akhirnya menemukan momentumnya juga.
Adalah hari ini, Rabu, 03 Oktober 2018, secara kasat mata, publik menyaksikan fenomena yang luar biasa, yaitu puncak dari gerakan politisasi hoaks lewat seorang yang dikenal sebagai aktivis perempuan dan salah seorang Tim Kampanye Nasional (TKN) dari kubu Prabowo-Sandi, yaitu Ratna Sarumpaet.
Tidak perlu dijelaskan panjang lebar siapa sebenarnya Ratna Sarumpaet ini. Yang jelas, hari ini, fenomena politisasi hoaks tidak bisa dimungkiri lagi.
Pengakuan Ratna Sarumpaet adalah indikasinya. Kebohongannya sudah membuat publik membuka mata lebar-lebar dan mengetahui terang benderang bahwa partai-partai oposisi yang kemudian mengusung Prabowo Subianto dan Sandiaga S. Uno sebagai capres dan cawapres nomor urut 02 dan tim suksesnya adalah pelaku atau dalang dari politisasi hoaks selama ini. Benarkah ini?
Kebenaran tentang ini semua bisa diteroka, disurvei (diinvestigasi) oleh lembaga-lembaga khusus atau lembaga intelijen secara khusus. Yang bisa dilihat hanya indikasi dan realitas penyebaran hoaks secara masif di media-media sosial selama ini. Lantas, siapakah sebenarnya pelaku atau dalang dari penyebaran hoaks yang menyerang calon presiden petahana di medsos selama ini?
Jawabannya memang bisa saja ya atau bisa tidak, hal itu berasal dari tim sukses lawan capres petahana. Tapi fenomena Ratna Sarumpaet bisa dijadikan salah satu petunjuk dan rujukan dari gerakan politisasi hoaks ini. Walaupun agak sulit untuk menggeneralisasi dan menyimpulkannya, siapa pelaku politisasi hoaks yang sebenarnya selama ini, tapi tetap saja lebih kuat mengarah kepada kubu tim sukses lawan petahana.
Dan terus terang, agak sulit juga membaca apa di balik fenomena Ratna Sarumpaet dan tim sukses Prabowo-Sandi ini. Atau apa sebenarnya di balik fenomena ini secara politis?
Karena agak janggal juga jika mengikuti kronologis berita munculnya kasus ini. Berawal dari berita yang beredar kemarin bahwa Ratna Sarumpaet dianiaya atau dipukuli sampai babak belur oleh orang-orang tak dikenal (entah siapa, tidak jelas ini) di Bandung.
Kemudian, melalui twitnya, Fadli Zon pun membenarkan itu. Bahkan Fadli Zon mengatakan Ratna Sarumpaet juga sudah menceritakan apa yang dialaminya ini dan kronologis kejadiannya secara detail. Ratna Sarumpaet menceritakan pula kepada Prabowo Subianto dan Amien Rais.
Malamnya, Prabowo Subianto, Amien Rais, bersama-sama tim suksesnya (terkesan serius atau ini sekadar pentas drama) memberikan pernyataan atau keterangan pers terkait kasus yang menimpa Ratna Sarumpaet ini di depan awak media dan disiarkan langsung oleh salah satu satsiun televisi.
Dalam pernyataan pers, Prabowo dan Amien Rais mengecam kekerasan secara fisik yang dialami oleh Ratna Sarumpaet dan mereka akan menemui Kapolri untuk melaporkan bahwa sudah terjadi tindakan represif dan kekerasan kepada warga negara, melanggar HAM, dan harus diusut tuntas.
Prabowo Subianto di sini terkesan bak pengacara atau penasihat hukum bagi Ratna Sarumpaet, sebagai korban kekerasan, bukan Prabowo Subianto sebagai capres. Aneh dan ganjil, jadinya.
Sontak (tidak ada hujan, tidak ada angin), sore hari ini, Ratna Sarumpaet mengakui kebohohongannya dan minta maaf kepada publik. Juga tidak lupa kepada Prabowo Subianto dan Amien Rais bahwa berita yang beredar di media itu tidak benar alias bohong belaka. Bahwa mukanya lebam-lebam itu bukan bekas dipukuli, tapi efek sedot lemak pipi untuk perawatan kecantikan (ada yang bilang operasi plastik). Dasar ganjen nenek-nenek pikun atau jangan-jangan belaga pikun?
Bahkan, dia sendiri mengakui selama ini antihoaks. Tapi dengan kejadian ini, menegaskan bahwa dirinya, Ratna Sarumpaet, adalah pelaku hoaks yang nyata. Fadli Zon pun mengamininya. Idem dengan Ratna Sarumpaet bahwa Ratna Sarumpaet adalah hoaks yang nyata.
Padahal jelas-jelas belum lama ini, Sandiaga Uno, cawapres nomor urut 02, pun telah melakukan perilaku politik yang tidak terpuji dan tidak beradab. Sandi telah melakukan praktik politik dumbing down atau pembodohan terhadap publik. Silakan baca di sini!
Ini ranah politik. Dalam politik, apa saja bisa terjadi. Apa pun sah dan bisa saja dilakukan. Politik adalah seni siapa memengaruhi siapa dan siapa yang piawai menguasai dan bermain opini.
Terlepas apa pun dan bagaimana pun ini realitasnya, Amien Rais selalu mendengungkan politik yang elegan. Politik yang santun (high politic). Politik yang berakhlakul karimah, politik yang mengedapankan moral dan perilaku yang terpuji.
Tapi kebohongan publik tetap adalah kebohongan, walaupun diakui dan minta maaf. Kebohongan publik adalah perilaku tidak bermoral dan tidak beradab. Kebohongan publik dan dengan sengaja menyebarkan hoaks adalah kejahatan. Apalagi ini diakui, maka harus diproses secara hukum.
Benar bahwa minta maaf adalah sikap keagamaan dan kemanusiaan. Tetapi hukum tetap harus ditegakkan. Biarkan hukum yang akan berbicara. Kita menunggu aparat hukum memprosesnya sampai tuntas. Prabowo Subianto sendiri dan tim suksesnya pun mempersilakan untuk diproses secara hukum. Ratna Sarumpaet harus mempertanggungjawabkannya.
Jangan lupa, pesan moral, bahwa sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya. Sekali saja berbohong, jangan harap orang lain akan percaya lagi untuk selamanya. Camkanlah itu!
Bahkan narasi keagamaan mengatakan bahwa orang yang bohong (munafik) itu nasibnya akan jatuh dalam nestapa dan kehancuran (fi al-darki al-asfali min al-nar/Q.S. al-Nisa ayat 145). Tidak ada ampun. Siap-siap saja mereka yang mempertontonkan kebohongan publik secara terang-terangan akan makin nyungsep dan melorot elektabilitasnya.
Kita tunggu saja hasil lembaga-lembaga survei setelah ini, dan lihat kenyataan yang akan berbicara pada hari Rabu, 17 April 2019. Walahu 'alam bi al-sawab.
● Tulisan ini dimuat dan dipublikasikan di Qureta.com pada tanggal 04 Oktober 2018
Komentar
Posting Komentar