Ketika Anak Krakatau Murka

Kondisi Gunung Anak Krakatau pada malam hari, 24 Desember 2018

Negeri kita, Indonesia rawan bencana. Bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi. Begitu kata para ahli geologi. 


Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser patah (diakibatkan pergerakan lava di perut bumi) menimbulkan gempa bumi. 


Jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menghasilkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.


Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21:30 WIB, kawasan sepanjang pantai Selat Sunda tiba-tiba kedatangan "tamu istimewa", tsunami. 


Gelombang air laut meninggi dan bergerak cepat bak kilat, dan membuat porak poranda apa saja yang ada di bibir pantai kawasan pantai di Lampung Selatan dan Banten. Teruatama kawasan pantai Kalianda Lampung Selatan, Anyer, Carita, Tanjung Lesung, Sumur dan sekitarnya.


Tsunami ini dipicu oleh erupsi gunung Anak Krakatau. Berdampak luar biasa dahsyatnya. Ratusan korban tewas dan ribuan orang luka-luka. Puluhan orang masih belum ditemukan. Rumah dan hotel rusak parah. Murkakah Anak Krakatau?


Saat itu hari Senin, 27 Aguatus 1883. Tepat pukul 10:20 WIB. Pernah terjadi hal serupa, bahkan lebih dahsyat. Gunung Krakatau meletus. Memuntahkan erupsi dan batu vulkanik. Berakibat tsunami. 36.000 lebih korban tewas. Pesisir di kawasan Selat Sunda terdampak parah, rata dengan tanah dan porak poranda. Ini catatan sejarah.


Gunung Krakatau tamat. Tapi 40 tahun kemudian, lahirlah Gunung Anak Krakatau. Tentang Gunung Anak Krakatau ini, adalah Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris dan penulis National Geographic, pernah memyatakan bahwa beberapa ahli geologi memprediksi antara tahun 2015 - 2083, Gunung Anak Krakatau akan meletus. 


Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Namun, benar saja akhir tahun 2018 prediksi ini menjadi kenyataan.


Kita belum siap menyambutnya. Benar bahwa tidak ada yang bisa memprediksi persisnya kapan bencana itu datang. Seperti kemarin, tidak ada yang menduga akan terjadi tsunami. 


Bahkan di awal, BMKG dan BNPB merilis pernyataan gelombang tinggi di laut Selat Sunda berbarengan adanya bulan purnama. Bukan tsunami. Tsunami terjadi biasanya diawali gempa bumi. Ini tidak ada tanda-tanda tsunami. 


Karena sulitnya diprediksi. Beberapa jam kemudian,  BMKG dan BNPB meralat rilisnya. Akhirnya, dipastikan terjadi tsunami di kawasan pesisir Selat Sunda.


Tsunami Selat Sunda ini langka. Karena tidak diawali gempa bumi. Tsunami ini dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Alat deteksi dan peringatan dini tsunami tidak berfungsi. Publik yang tinggal di pesisir panik. Yang masih selamat mengungsi ke daerah dataran tinggi. Waspada dan jaga-jaga jika terjadi tsunami susulan.


Saat ini, proses evakuasi, penanganan dan perawatan yang terluka masih terus dilakukan. Bersama bahu membahu dari berbagai instansi dan masyarakat.


Bencana seharusnya menjadi pembelajaran. Bagaimana agar kita tidak hanya sibuk menghitung berapa angka korban setiap kali ada bencana. Bencana datang cepat dan cepat berlalu. Cepat pula dilupakan begitu saja tanpa pembelajaran, evaluasi dan solusinya ke depan.


Padahal pasca bencana banyak pekerjaan rumah menanti dan harus dikerjakan. Jangan sampai bencana datang silih berganti, tapi tidak ada evaluasi dan solusi signifikan.


Evakuasi korban, perawatan yang terluka, pemulihan infrastruktur yang rusak dan psikologi publik yang terdampak menjadi urgen dan prioritas pasca tsunami Selat Sunda.


Hentikan provokasi dan hoaks yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tentang tsunami susulan. Stop debat pencitraan dan baperan paling berperan. Fokus saja bekerja untuk korban. Titik.


Perbaiki sistem informasi dan komunikasi tentang bencana. Jangan sampai terjadi lagi informasi yang meresahkan dan panik publik. 


Bangun kembali sistem peringatan dini bencana. Sehingga ada ikhtiar publik mengantisipasi dan merespons bencana yang akan teejadi.


Lakukan pendidikan dan pembelajaran menghadapi bencana.  Agar publik tenang dan tidak panik. 


Evaluasi pembangunan gedung dan tempat tinggal. Apakah sudah memenuhi dan memadai benar-benar anti gempa bumi dan tsunami. Semua ini paling tidak adalah ikhtiar untuk mengurangi korban bencana. Ikhtiar tetap wajib. Setelah itu berserah diri pada Tuhan. Tuhan Yang Maha Kuasa.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku