Ketika Anak Krakatau Murka
Negeri kita, Indonesia rawan bencana. Bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung berapi. Begitu kata para ahli geologi.
Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Sewaktu-waktu lempeng ini akan bergeser patah (diakibatkan pergerakain lava di perut bumi) menimbulkan gempa bumi.
Jika terjadi tumbukan antar lempeng tektonik dapat menimbulkan tsunami, seperti yang terjadi di Aceh dan Sumatera Utara.
Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21:30 WIB, kawasan sepanjang pantai Selat Sunda tiba-tiba kedatangan "tamu istimewa", tsunami.
Gelombang air laut meninggi dan bergerak cepat, membuat porak poranda apa saja yang ada di bibir pantai kawasan pantai di Lampung dan Banten. Teruatama kawasan pantai Kalianda Lampung Selatan, Anyer, Carita, Tanjung Lesung, Sumur dan sekitarnya sepanjang pesisir pantai selatan Banten.
Tsunami ini dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Berdampak luar biasa dahsyatnya. Ratusan korban tewas dan ribuan orang luka-luka. Puluhan orang masih belum ditemukan. Rumah dan hotel rusak parah. Murkakah Anak Krakatau?
Pasca tsunami kemarin, sepanjang hari sampai saat ini, Gunung Anak Krakatau (GAK) terus mengeluarkan suara erupsi. Suasana ini mengingatkan saya pada masa kanak-kanak saya. Saya hafal betul suara itu. Saya sudah biasa mendengarnya. Dulu kami sering menyebutnya, GAK sedang batuk. Semoga GAK "batuknya" reda dan tenang lagi. Tidak meresahkan.
Saat masih kanak-kanak, saya pernah tinggal persis di bibir pantai. Sekitar pantai Karang Bolong. Sekarang ini keluarga saya, ayah dan ibu saya tinggal di daerah dataran tinggi, Cinangka. Jaraknya sekitar 2 km dari pantai. Memang sudah lama hijrah ke sini. Makanya, alhamdulillah, kemarin ketika tsunami datang, keluarga saya aman.
Ini catatan sejarah. Saat itu hari Senin, 27 Aguatus 1883. Tepat pukul 10:20 WIB. Pernah terjadi hal serupa, bahkan lebih dahsyat. Gunung Krakatau meletus. Memuntahkan lahar, batu dan abu vulkanik. Longsornya material sedimen di sekitar Gunung Krakatau di bawah laut. Berakibat tsunami. 36.000 lebih korban tewas. Pesisir di kawasan Selat Sunda terdampak sangat parah dan rata dengan tanah
Gunung Krakatau tamat. Tapi 40 tahun kemudian, muncul Gunung Anak Krakatau. Tentang Gunung Anak Krakatau ini, adalah Simon Winchester, ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris dan penulis National Geographic, pernah menyatakan bahwa beberapa ahli geologi memprediksi antara tahun 2015 - 2083, Gunung Anak Krakatau akan meletus.
Menurut Simon Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Namun, benar saja akhir tahun 2018 prediksi ini menjadi kenyataan.
Kita belum siap menyambutnya. Karena datang tiba-tiba. Benar tidak ada yang bisa memprediksi persisnya kapan bencana itu datang. Seperti kemarin, tidak ada yang menduga akan terjadi tsunami.
Bahkan di awal, BMKG dan BNPB merilis pernyataan gelombang pasang naik. Bulan purnama memang memicu naiknya tinggi muka air laut. Sekali lagi, tidak ada tsunami. Hanya gelombang laut naik. Tsunami terjadi biasanya diawali gempa bumi. Ini tidak ada tanda-tanda tsunami.
Karena sulitnya diprediksi. Beberapa jam kemudian, BMKG dan BNPB meralat rilisnya. Akhirnya, dipastikan terjadi tsunami di kawasan pesisir Selat Sunda.
Tsunami Selat Sunda ini langka. Karena tidak diawali gempa bumi. Tsunami ini dipicu oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Akibat longsornya material sedimen di sekitar Gunung Anak Krakatau di bawah laut. Alat deteksi dan peringatan dini tsunami tidak berfungsi. Publik yang tinggal di pesisir panik. Yang masih selamat mengungsi ke daerah-daerah dataran tinggi. Waspada dan jaga-jaga jika terjadi tsunami susulan.
Saat ini, proses evakuasi, penanganan dan perawatan yang terluka masih terus dilakukan. Bersama bahu membahu dari berbagai instansi dan masyarakat.
PR Pasca Tsunami Selat Sunda
Bencana seharusnya menjadi pembelajaran. Bagaimana agar kita tidak hanya sibuk menghitung berapa angka korban setiap kali ada bencana. Bencana datang cepat dan cepat pula berlalu. Lalu dilupakan begitu saja tanpa pembelajaran, evaluasi dan solusinya ke depan.
Padahal pasca bencana banyak pekerjaan rumah menanti dan harus dikerjakan. Jangan sampai bencana datang silih berganti, tapi tidak ada evaluasi dan solusi signifikan.
Evakuasi korban, perawatan yang terluka, pemulihan infrastruktur yang rusak dan trauma psikologis publik yang terdampak menjadi urgen dan prioritas pasca tsunami Selat Sunda.
Hentikan provokasi dan hoaks tentang tsunami susulan. Stop menuduh pencitraan dan baperan paling berperan, seperti ormas yang satu itu. Bagaimanapun korban bencana membutuhkan bantuan. Dan siapa pun, semuanya punya peran ulurkan tangan dan turun tangan bersama-sama.
Tidak ada lagi saling menyalahkan dan saling melempar tugas. Alasan bukan tupoksi, apalagi politis. Lakukan saja apa yang seharusnya dilakukan untuk korban. Fokus saja bekerja untuk korban. Titik!
Banyaknya daerah yang terdampak tsunami kemarin yang minim evakuasi dan belum sama sekali tersentuh bantuan dan penanganan aparat terkait adalah kenyataan di lapangan yang membuat miris dan ironis.
Perbaiki sistem informasi dan komunikasi tentang bencana. Jangan sampai terjadi lagi informasi secara resmi dari BMKG dan BNPB yang meresahkan dan membuat panik publik. Informasi keliru dan typo, sampai perlu diralat dan diedit. Ini penting. Jangan dianggap enteng. Apa perlu editor Qureta turun tangan?
Bangun kembali media dan sistem peringatan dini bencana. Sehingga ada ikhtiar publik mengantisipasi dan merespons bencana yang akan terjadi.
Kasus seismograf atau alat pengukur gempa yang memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau sempat rusak kemarin, adalah contohnya.
Atau, jangan sampai terjadi lagi, publik panik dan lari terbirit-birit, gegara bunyi sirene alat peringatan dini yang diklaim tidak berfungsi, tapi dengan liar tiba-tiba bunyi sendiri. Aneh!
Lakukan pendidikan dan pelatihan publik dalam menghadapi bencana. Penyuluhan publik dan simulasi menghadapi bencana adalah penting. Agar publik tahu, terbiasa tenang dan tidak panik merespons kondisi saat bencana datang.
Evaluasi pembangunan gedung dan tempat tinggal. Apakah sudah memenuhi dan memadai benar-benar anti gempa dan tsunami.
Semua ini paling tidak adalah mitigasi atau ikhtiar untuk mengurangi dampak bencana. Mitigasi ini yang kerap menjadi masalah krusial setiap kali bencana datang. Saling lempar tanggung jawab dan kewenangan antar instansi atau lembaga selalu saja muncul.
Ke depan, ini semua harus menjadi agenda nasional mendesak dan program prioritas. Jangan sampai bencana keburu datang dan datang lagi. Dan masalahnya itu-itu saja. Dari bencana ke bencana. Ikhtiar tetap wajib. Setelah itu berserah diri pada Tuhan.
Masih dalam suasana berduka dan empati terhadap saudara-saudara kita yang menjadi korban terdampak bencana tsunamì di kawasan pesisir Selat Sunda, kita tetap berharap, semoga alam tetap bersahabat. Bumi tempat berpijak tetap bijak. Tetap damai di bumi. Laut tetap berombak tapi tidak merusak. Tetap indah memesona dan tersenyum ramah. Gunung-gunung tetap anggun dan cantik. Tuhan Yang Maha Kuasa tetap menyayangi dan mengasihi kita.
(Tulisan ini dipublikaiskan di Qureta.com tanggal 25 Desember 2018)
Komentar
Posting Komentar