Rocky Gerung Sekadar Memalsukan Akal Sehat, Tidak Lebih
tribunnews.com |
Ini adalah respons atas pernyataan Rocky Gerung yang di beberapa kesempatan kerap molantarkan kata-kata akal sehat dan dungu selama ini.
Rocky Gerung dikenal sebagai dosen filsafat di Universitas Indonesia. Belakangan memang nama Rocky mencuat dan mendadak naik daun, terutama hari-hari menjelang pilpres 2019. Pernyataan-pernyataannya yang nyeleneh hampir selalu menjadi kontroversi dan viral di lini masa.
Rocky tampak konsisten mengoposisikan dirinya yang seakan-akan bertugas memuntahkan nyinyir dan siap menohok capres petahana lewat media sosial, khususnya akun twitter, dan memanfaatkan panggung acara talkshow di salah satu stasiun televisi yang notabene mempopulerkannya.
Di matanya, capres petahana selalu salah dan jelek, selalu negatif dan tidak pernah ada baiknya. Dia tidak sungkan-sungkan menjadikan capres petahana dan lawan bicaranya sebagai bulan-bulanan dan obyek perisakan. Meluncurlah dari mulutnya kata-kata dan diksi yang kemudian menjadi ciri khasnya, seperti dungu, nalarnya rendah, pakai akal sehat, dan seterusnya.
Argumentasi yang dibangun tampak tertata rapi, sistematis, akademis, dan rasional. Padahal semuanya sengaja dibuat nyeleneh dan sedemikian rupa untuk mengundang kesal dan memancing debat bagi lawan bicara.
Sebut saja, misalnya, pemerintah itu selalu memproduksi (sumber) hoaks, marah-marah sambil baca teks, otak dan mulut tidak sinkron, kitab suci itu fiksi; yang paling akhir, reuni 212 adalah reuni akal sehat, dan seterusnya. Bukan Rocky Gerung kalau tidak membuat sensasi dan nyinyir. Dia suka bermain kata-kata dan memilih diksi yang asing dan menghentak telinga serta nalar publik.
Itulah fenomena Rocky Gerung yang "mendadak selebriti" di panggung politik kita hari ini.
Untuk yang terakhir, sekadar contoh, dengan santainya Rocky Gerung melontarkan pernyataan bahwa reuni 212 di Monas adalah reuni akal sehat. Argumentasinya bertumpu pada kesadaran publik untuk hadir tanpa ada yang mengomandoi.
Apakah kenyataannya seperti itu? Padahal jelas-jelas ada rekayasa dan koordinasi. Sarat dengan nuansa politis. Politisasi agama pula. Menyebut murni kegiatan agama, tablig akbar, tapi mencatut nama Tuhan untuk kepentingan politik jangka pendek. Menyeret Tuhan ikut terjun berkampanye. Tidak lebih.
Lantas di mana letak akal sehatnya? Justru yang ada akal-akalan saja. Tanda-tanda sakit Rocky Gerung ini, karena tipu daya, sesat, dan menyesatkan. Ada kebohongan publik.
Selain itu, menurutnya, betul ini berawal dari momen aksi 212 tahun 2016 untuk menuntut Ahok diproses secara hukum berkaitan dugaan penistaan agama, padahal saat itu juga sedang diproses secara hukum. "Awalnya momen, tetapi sekarang sudah menjadi monumen, karena berubah menjadi bersejarah," tambah Rocky. Makanya Rocky menyebut Monas kepanjangan dari Monumen Akal Sehat.
Itu bukti akal-akalannya saja. Jadi bukan akal sehat. "Akal sehat" dengan "akal-akalan" jelas jauh berbeda artinya. Menurut KBBI Daring, akal sehat artinya pikiran yang baik dan normal. Sedangkan akal-akalan artinya tipu daya.
Kalau pakai ilmu akal-akalan, ilmu tipu-tipu, dan cocoklogi, maka Monas bisa saja disebut sebagai Monumen Akal Sableng. Karena sesuai dengan 212 sebagai simbol Wiro Sableng. Kata "sableng" sendiri, menurut KBBI Daring, artinya agak gila, kurang waras. Anda sakit kali, ya, Rocky Gerung? Berobatlah dan bertobatlah Anda dari membohongi publik.
Sampai di situ saja, Rocky Gerung tampaknya sudah tidak konsisten dan mengaburkan konsepnya sendiri yang tertuang dalam "Maklumat Akal Sehat" yang pernah dideklarasikannya bersama-sama aktivis lainnya pada tanggal 25 April 2018 yang lalu.
Di maklumat itu jelas tertulis bahwa sudah merupakan keharusan bahwa demokrasi dan kehidupan politik mesti dibangun berdasarkan konsep, kritik, dan argumen. Bahwa kehidupan publik kita mesti dibasiskan pada prinsip kemerdekaan, bukan doktrin dan bukan klaim-klaim kebenaran final.
Oleh karena itu, sungguh merupakan keganjilan apabila di dalam suatu negara demokratis yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa; pikiran, argumen dan kritik justru dipatahkan oleh klaim-klaim komunalitas dan tangan aparat negara. Sungguh merupakan keganjilan bila pikiran publik justru dikriminalisasi dan diadili bukan di muka perdebatan publik dan dunia keilmuan, melainkan di muka hukum atas tuduhan penyebaran kebencian dan penghinaan terhadap penguasa dan penodaan agama.
Anti-intelektualisme pada dasarnya adalah pangkal dari intoleransi dan lawan dari pluralisme. Pluralisme dimulai dari penerimaan akan nilai dan pikiran yang berbeda. Toleransi dimulai dengan kesanggupan menerima bahwa mereka yang berbeda memiliki nilai kebenarannya sendiri yang patut dihargai.
Penerimaan akan perbedaan hanya bisa dimulai dalam kecerdasan dan keterbukaan pikiran. Di dalam pikiran yang cerdas terdapat toleransi dan pluralisme sejati. Secara utuh maklumat itu, silakan baca di sini!
Membaca maklumat ini saja, belum lagi kalau menyimak pernyataan-pernyataannya selama ini dengan sunguh-sungguh dan jujur, adalah sangat kontradiksi dan bias. Lari dari realitas. Contradictio in terminis.
Karena Rocky sekadar berputar-putar berkeliling menjajakan "barang dagangannya" dengan brand "akal sehat" itu, tanpa argumentasi dan dalil-dalil akademik-keilmuan yang valid, obyektif dan rasional.
Rocky pandai bersilat lidah dan memilih diksi yang tidak lebih sekadar memproduksi narasi-narasi provokatif dan kebencian. Dia sebatas sebagai penyambung lidah kubu oposisi, juru kampanye dan propaganda buta memengaruhi publik untuk memilih salah satu paslon di pilpres 17 April 2019. Tidak lebih.
Rocky bicara berbusa-busa tentang akal sehat, padahal hakikat dan realitasnya (dan tentu ini bukan fiksi/khayalan), justru dia sedang mengatakan tentang diri dan narasi-narasinya yang jauh dari akal sehat. Dia sebenarnya sedang menggelar konser kedunguan dan menyebar sampah, yang kalau dibuang pun, keranjang sampah tidak memadai menampungnya. Tragis.
Tragisnya lagi, Rocky sedang menjajakan akal sehat yang palsu. Memanipulasi dan memalsukan akal sehat adalah tindakan yang malpraktek dan perilaku amoral. Sekadar itu, tidak lebih.
Yang penting semoga Rocky Gerung belum mulai pikun, masih sehat, dan waras sampai hari 17 April 2019. Dia tetap kritis dan eksis mengedukasi dan menginspirasi publik dengan akal sehat yang original dan otentik, tidak terkontaminasi virus vested interest dan kedunguan akut.
Kalau tidak, tamatlah Rocky. Rocky menghilang ditelan timbunan sampah narasinya sendiri yang provokatif dan bias pasca pesta demokrasi nanti. No Rocky after party.
(Esai ini dipublikasikan di Kompasiana tanggal 29 Januari 2019).
Komentar
Posting Komentar