Kenapa Mesti Takut Filsafat?

sadra.co.id

Saya seorang ayah. Istri saya empat anaknya. Yang pertama kuliah di Universitas Padjajaran. Baru masuk. Mengambil jurusan ekonomi. 
Kedua, ketiga dan keempat secara beruntun masih di SMA, SMP dan SD. Semuanya masih dalam usia sekolah. Di swasta semua. Sengaja. Swasta agak beda. Bagus. Negeri ada beberapa. Bagus juga. Berarti masih perlu biaya? Jangan ditanya.
Tapi saya mau cerita anak saya yang pertama. Saat lulus SMA dulu, dia gamang. Memilih jurusan apa nanti kuliah. Biasa ini. Hampir dialami anak yang baru lulus SMA. Apalagi anak sosial. Seperti anak saya.
Belum lagi dibayangi, lulus atau tidak di SBMPTN. Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kuliah di negeri saja. Di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Swasta mahal. Tapi, ternyata negeri juga mahal. Tidak seberapa. Dibanding swasta. Swasta lebih mahal lagi.
Banyak jurusan. Banyak juga PTN. Tapi tidak sedikit peminat. Yang ikut tes SBMPTN ini, membludak. Harus bersaing ketat. Harus pintar-pintar memilih jurusan. Yang sesuai minat, tentu. Tidak asal ambil.
Dalam gamang urusan jurusan. Mau kuliah di apa. Apa yang harus dipilih. Saya tes ombak anak saya. Saya tawarkan filsafat. Dia menjawab. Tapi tidak pakai kata-kata. Hanya menggelengkan kepala. Sudah bisa ditebak: Tidak minat.
Saya tanya, "Kenapa?". "Takut, Yah!", spontan dia menjawab. Setelah berdialog. Ternyata, anak saya sudah punya kesan. Persepsi negatif terhadap filsafat. Makanya, kenapa dia takut filsafat.
Filsafat itu membuat pusing. Susah dicerna. Sudah begitu, belajar filsafat bisa sesat. Banyak yang nggak salat. Gegara filsafat. Tuhan saja dikutak-katik. Tuhan dibilang sudah mati. Tuhan diragukan. Apa memang Tuhan itu ada? Tuhan sedang apa sekarang? Ada yang bilang, Tuhan sedang main dadu. Dan seterusnya. 
Bahaya. Kacau. Aneh. Filsafat menyesatkan. Otak bisa miring. Stres. Anak saya sambil memberi simbol telunjuk ditempelkan berbaring melintang di keningnya. Saya ketawa saja. Melihat tingkah anak saya.
Anak saya nyerocos. Seakan menyerang saya dengan beribu tanya dan kegamangan. Belum lagi, kalau kuliah filsafat, nanti kerja apa. Nggak jelas. 
Phobia filsafat. Sudah antipati pada filsafat. Filsafat seperti anak durhaka. Haram jadah. Haram belajar filsafat. Filsafat jadi momok yang menakutkan. Serem. Respons negatif.
Filsafat bikin miring otaknya. Apa gegara Si Tatang di Sinetron Dunia Terbalik itu? Itu memengaruhi? Atau hanya kesan, persepsi dan klaim saja? 
Filsafat itu sama dengan ilmu lain. Penting. Bahkan sangat penting. Saya mulai menjelaskan ke anak saya.
Filsafat induk semua ilmu. Hampir tidak ada ilmu yang lepas dan terpisah dari filsafat. Belajar filsafat, belajar cara berpikir yang baik. Bernalar yang sesungguhnya. Berakal sehat.
Beragama saja perlu filsafat. Nabi juga mengatakan, tidak beragama bagi orang yang tidak berpikir. Berpikir itu berfilsafat. 
Beragama dan berfilsafat tidak bisa dipisahkan. Saling berkelindan. Jangan dibenturkan antara beragama dan berfilsafat. 
Dasar keduanya berbeda, tentu. Agama bertumpu pada wahyu. Sedang filsafat adalah akal. Wahyu dan akal sama-sama penting. Saling membutuhkan. 
Sampai di situ dialog saya dengan anak saya. Sementara. Dia mulai mendengarkan. Tampak mulai mengerti. Barangkali. Kepalanya sedikit mengangguk-angguk. Entah. Apa dia mulai paham. Atau malah pening. Hehe...
Agama bisa menemukan kebenaran. Pun filsafat. Beragama tanpa filsafat itu rigid. Sedikit-sedikit halal-haram. Surga-neraka. Memandang dunia menjadi hitam-putih.
Ingat Nabi Ibrahim, kekasih Tuhan? Awalnya ia ateis. Akhirnya ia menjadi monoteis sejati. Bahkan dijuluki Bapak Monoteisme. Abu al-tawhid. Kenapa bisa begitu? Karena Ibrahim mempertanyakan tentang Tuhan. "Apa benar Tuhan itu ada?".  Begitu dalam benak dan pikirannya. Ibrahim bertanya.
Itulah filsafat. Filsafat bermula dari bertanya. Meragukan sesuatu. Itu kerja filsafat paling mendasar.
Ibrahim berkelana mencari Kebenaran. Mencari Tuhan. 
Malam hari ia melihat ke angkasa. Ada bintang nun jauh di sana. Amat banyak menghias angkasa. Bercahaya. Indah. Tapi syukur Ibrahim tidak ingin terbang dan menari. Jauh tinggi ke tempat bintang berada.
Lain malam, ia melihat bulan. Lebih terang daripada bintang. Lebih besar pula. Lebih terang juga cahayanya. Tapi syukur juga Ibrahim tidak minta diambilkan bulan dan minta untuk memeluknya.
Pagi hari, Ibrahim melihat matahari. Besar juga. Sinarnya menghangat. Agak siang malah menyengat. Tapi itu semuanya menghilang. Bintang dan bulan menghilang dengan datangnya siang. Matahari pun pulang ke peraduan saat gelap menjelang.
Ibrahim ragu. Tadinya itu semua dikira Tuhan. Ternyata bukan. Akhirnya, ia yakin di balik itu semua ada yang mengatur. Suatu yang gaib, tapi nyata. Tidak teraba tapi terasa. Tidak terlihat, tapi ada. Itulah Kebenaran. Tuhan.
Petualangan filosofis Nabi Ibrahim mencari Tuhan ini diabadikan dalam Alquran. Kitab suci umat Islam.
Mencari Tuhan versi Ibrahim. Ini mengingat pada roman filsafat yang ditulis oleh Ibn Thufail, filsuf Islam. Novel bergendre filsafat ini berjudul Hayy Ibn Yaqzan (Hidup Anak Bangun).
Membaca novel ini seperti membaca novel pada umumnya. Asyik. Menarik. Ceritanya mengalir. Terasa seperti tidak sedang membaca buku filsafat. Tapi tentu seterusnya mulai njelimet. Banyak term-term filsafat muncul.
Poinnya adalah baik itu Ibrahim. Juga Hayy Ibn Yaqzan sama-sama dapat menemukan Kebenaran, Tuhan lewat proses kerja filsafat. Hanya berbeda setting, alur cerita dan tokoh cerita, tentu saja. Ujungnya sama: Menjelaskan filsafat. Belajar filsafat.
Itu kerja filsafat yang paling sederhana. Paling awal. Bertanya. Meragukan sesuatu. Memverifikasi. Untuk meneguhkan keyakinan. Mencapai Kebenaran.
Anak saya mendengarkan saja. Matanya tak berkedip. Mungkin mulai tertarik cerita saya tentang filsafat. Atau saking mulai pening kepalanya. Tapi sesekali menguap. Ngantuk mungkin. Atau karena otaknya mulai bekerja. Mengeluarkan energi. Berpikir. 
Sambil saya perlihatkan buku novel filsafat Hayy Ibn Yaqzan dari rak (lemari) buku, saya berikan ke diaAnak saya terkesiap. "Oh...Ayah punya bukunya?", dia bertanya tapi menegaskan. Dan dia meraih buku itu dari tangan saya. Membolak-balik, melihat-lihat cover buku novel itu. (Bersambung).

(Esai ini dipublikasikan di Kompasiana tanggal 31 Januari 2019)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku