Kenapa Tetap Harus Jokowi, dan Tidak Prabowo?
Tampak Jokowi tersenyum didampingi istrinya. Sementara Prabowo begitu mesra dicium kudanya. |
Kurang dari enam puluh hari lagi pilpres digelar. Atmosfirnya sudah makin memanas. Kedua kubu capres saling menyerang tak terelakkan.
Dua kali debat sudah berlalu. Debat menyisakan debat. Berdebat tentang debat terus bergulir. Memengaruhi atau tidak untuk pemilih, terutama yang belum menentukan pilihannya, bukan masalah.
Akhirnya, alih-alih meredam suasana yang makin memanas ini, justru berdebat tentang debat capres ini makin menambah suhu yang sudah memanas itu, bahkan mendidih dan menguap, sehingga membuat kusut, hiruk-pikuk dan berisik luar biasa di lini masa.
Segala cara dilakukan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto - Sandiaga S. Uno untuk menyerang dan menjatuhkan petahana. Politisasi agama, menyebar fitnah dan hoaks terus dilancarkan. Sampai-sampai pulpen dan earphone pasca debat kedua pun menjadi sasaran fitnah. Ini jelas isyarat. Isyarat makin kusut saja pilpres ini.
Dalam kontestasi pilpres 2019 ini, pertanyaan yang mendasar adalah siapa sebenarnya yang lebih pantas dan harus didukung, Jokowi - Ma'ruf Amin atau Prabowo - Sandi? Haruskah tetap mendukung Jokowi dan (mengulang) tidak Prabowo? Kenapa?
Jawabannya tentu rahasia dan yang tahu persis adalah pribadi masing-masing yang memilih sesuai nalar dan hati nuraninya di balik bilik suara pada hari H, 17 April nanti.
Tulisan ini sengaja sekadar menganggit beberapa, sedikitnya tiga saja dari begitu banyak alasan, kenapa harus tetap Jokowi, dan tidak Prabowo?
Pertama, Prabowo - Sandi tidak berpengalaman. Baik Prabowo juga Sandi belum teruji dan belum cukup pengalaman dan kemampuannya dalam memimpin bangsa yang besar ini. Memimpin negara begini besar tidak boleh pakai coba-coba. Harus meyakinkan.
Rekam jejak keduanya blur, tidak jelas visi misinya dan sangat diragukan. Karir Prabowo di militer bukan atas dasar prestasi dan kemampuan kepemimpinannya yang otentik dan profesional. Semua orang tahu ini.
Karir Prabowo di militer sekadar karir "rekayasa dan hadiah". Karena ia dekat dengan "Keluarga Cendana", sekaligus mantu dari presiden orde baru saat itu. Kalau tidak, mana ada promosi seorang prajurit begitu cepat secepat Prabowo tanpa prestasi karir yang membanggakan dan tanpa prosedur yang baku.
Juga Sandi. Bicaranya saja belepotan. Wawasannya saja sempit. Cara berpikirnya dangkal dan sering tidak rasional. Kurang menguasai masalah. Sandi hanya sebentar jadi wakil gubernur DKI Jakarta. Itu juga jadi karena aksi berjilid dari politisasi agama yang masif.
Hal ini berbeda jauh dengan Jokowi - Ma'ruf Amin. Jokowi berhasil dan berprestasi sebagai walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI selama empat tahun terakhir ini. Sudah tidak diragukan lagi. Kinerjanya luar biasa dalam membawa kemajuan dan kesejahteraan bangsa ini. Jokowi sudah membuktikan dan meyakinkan ini.
Pun Ma'ruf Amin. Ia adalah Ketua Umum MUI Pusat, Rois Syuriah PBNU, Ketua Harian Dewan Syariah Nasional MUI, pernah menjadi anggota MPR/DPR, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden di era Presiden SBY, dan seterusnya, kiprahnya di ranah politik, pendidikan dan ulama, adalah bekal yang signifikan dan mumpuni memimpin negeri ini mendampingi Jokowi.
Kedua, Prabowo - Sandi bermodal hoaks dan firnah, tidak lebih. Prabowo - Sandi dan BPN-nya selalu menuduh petahana tanpa bukti dan data valid. Memfitnah dan menyebar hoaks terus dimunculkan.
Keduanya lebih banyak melakukan politik dumbing down. Politik sandiwara dan pembohongan. Tampaknya ini sudah menjadi hobi mereka. Tiada hari tanpa hoaks. Jokowi kerja untuk bangsa, dan Prabowo kerjanya hoaks melulu.
Apalagi Sandi yang sering memainkan politik dumbing down. Politik pembodohan dan sandiwara. Ia yang selalu menyebar hoaks dan bersandiwara. Tapi sekalinya ia diserang balik dengan perisakan bahwa sandi bersandiwara. Ia langsung lapor dan curhat kepada mamanya. Makanya, Sandi dijuluki sebagai " Anak Mama" yang cengeng dan manja. Cawapres kok cengeng!
Apalagi Sandi yang sering memainkan politik dumbing down. Politik pembodohan dan sandiwara. Ia yang selalu menyebar hoaks dan bersandiwara. Tapi sekalinya ia diserang balik dengan perisakan bahwa sandi bersandiwara. Ia langsung lapor dan curhat kepada mamanya. Makanya, Sandi dijuluki sebagai " Anak Mama" yang cengeng dan manja. Cawapres kok cengeng!
Banyak sudah contoh. Dari uang seratus ribu cuma dapat cabe dan bawang, tempe setipis atm, kasus aktris terbaik hoaks Ratna Sarumpaet, Indonesia bubar tahun 2030, selang cuci darah di RSCM dipakai berulang-ulang, dan sampai yang terakhir tentang pulpen dan earphone pasca debat kedua juga kena sasaran fitnah mereka. Benar-benar makin kusut saja.
Sementara Jokowi sudah membuktikan dalam memimpin bangsa ini dengan kinerja dan prestasi yang patut dibanggakan dan diapresiasi. Banyak keberhasilan Jokowi dalam membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik dan lebih maju.
Ketiga, tolok ukur kehidupan keluarga. Hampir semua pemimpin di semua negara, bahwa keutuhan dan keharmonisan kehidupan keluarga menjadi tolok ukur dan contoh keberhasilan kepemimpinan dalam sebuah negara. Ini sangat penting.
Logikanya, bagaimana mungkin mengurus dan memimpin negara yang begini besar, kalau mengurus keluarganya saja tidak becus. Kehidupan keluarganya saja kacau. Dan itu yang terjadi pada Prabowo. Rumah tangganya saja berantakan. Role model atau contoh yang tidak baik sebagai pemimpin.
Sebaliknya Jokowi tidak saja berhasil mempertahankan dan menjaga keutuhan NKRI sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat. Tetapi juga berhasil dalam mejaga keutuhan dan keharmonisan keluarganya.
Ini saja sudah menjadi role model dan teladan yang sangat baik berkelindan dengan keberhasilan kepemimpinannya sebagai kepala negara. Jokowi sukses kepala negara, sekaligus sukses kepala keluarga.
Kalau Prabowo punya pengalaman gagal sebagai calon kepala negara (calon presiden) dan gagal juga sebagai kepala keluarga. Ini role model sangat tidak baik dan isyarat gagal lagi kali ini di kontestasi pilpres 2019. Karunya (kasihan) Prabowo!
Karena Prabowo harus legowo kepada Joko Widodo untuk melanjutkan memimpin bangsa ini menjadi presiden dua periode.
Jangan sampai terjadi sejarah yang memalukan pertama kalinya untuk negara ini, ketika Indonesia menjadi negara tanpa ibu negara. Amit-amit. Na'udzubillahi min dzalik! Tabik.
(Esai ini dipublikasikan di Kompasiana pada tanggal 20 Pebruari 2019).
https://www.kompasiana.com/muissunarya/5c6ceae9c112fe274d7cb7f9/kenapa-tidak-prabowo
Komentar
Posting Komentar