Menulis Itu Cinta


Ada yang bilang, cinta itu menetap. Tak pernah menguap. Cinta adalah keabadian. Nafas lebih lama dari cinta. Tapi cinta lebih purba dari nafas. Cinta tak pernah berakhir. Tapi nafas berhenti. Nafas boleh berhenti, tapi cinta tak. Cinta akan terus hidup.

Pun menulis. Menulis itu cinta. Jejaknya tak pernah berakhir, walaupun nafas ini berhenti. Makanya, kata Maestro penulis, Pramudya Ananta Toer bahwa menulis itu untuk keabadian.

Jika Anda ingin hidup 1000 tahun pun, bahkan abadi sepanjang masa, maka menulislah. Karena menulis adalah denyut nadi itu sendiri.

Segitu pentingnya menulis itu, bahkan Imam al-Ghazali memberikan motivasi dengan kata-katanya yang sangat populer, "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." 

Dalam syair Arab dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu ibarat binatang buruan. Dan menulis itu sebagai pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan ikatan yang sangat kuat. Adalah hal yang dungu, jika seseorang membiarkan kijang lewat di hadapannya berjalan liar begitu saja.

Sampai-sampai Tuhan mengelaborsi pesan pertamanya dalam Alquran tentang pentingnya literasi (membaca dan menulis), dengan isyarat "Iqra" dan "al-qalam". Bukan yang lain-lain. Jadi, bisa dibilang, literasi adalah yang pertama dan utama. Literasi itu lebih penting dari yang penting lainnya.

"Iqra bi ismi rabbika allazi khalaq. Khalaqa al-insana min 'alaq. Iqra wa rabbuka al-akram. Allazi 'allama bi al-qalam. 'Allama al-insana ma lam ya'lam..." (Alquran Surat al-'Alaq 1 - 5)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

In Memoriam, Hanif M Sobari (1970 - 2018) : Semesta Pun Berduka

Tembak Laser untuk Batu Ginjal, Sebuah Ikhtiar

Mencairlah, Rindu Kita yang Membeku