Doa Pun Pakai Data Hoaks
tirto.co.id |
Doa Pun Pakai Data Hoaks
Oleh Muiss Sunatya
Problem doa puitis Neno Warisman di malam munajat 212, Kamis malam (21/02/2019) itu terletak pada kalimat ini, "...Karena jika Engkau tidak menangkan, kami khawatir Ya Allah, kami khawatir Ya Allah, tak ada lagi yang menyembah-Mu..." Dan kalimat itu dikaitkan dengan politik pilpres. Berdasarkan menang-kalahnya sang calon.
Wajar ada yang menyebut, ini doa kepanikan dan frustasi Neno dalam pertarungan politik.
Bagi saya, bukan soal itu saja, tapi doa Neno ini adalah sikap mengancam Allah, dan sangat melukai hati orang-orang Islam yang lain, termasuk orang-orang yang sudah intens asyik masyuk bergelut secara praktis dalam dunia tasawuf sebagal salik (sufism/spiritual traveler).
Masa iya mereka dianggap tidak menyembah Allah selama ini? Bukankah itu sama saja artinya dengan mengkafirkan sesama saudaranya sendiri yang muslim?
Bukan doanya dan di mana ia berdoa yang kurang tepat. Doa dan tempat di mana doa itu dirapal tidak ada masalah.
Yang bermasalah adalah ketika doa sudah menyimpang dari realitas (pakai data hoaks) dan seakan mengancam-ancam dan mendikte Allah. Dan Allah disudutkan dan disodori data hoaks. Bayangkan saja!
Neno sendiri berdoa tidak salah. Yang salah bahwa Neno mengaitkan doa dengan realitas politik. Kalimat doanya itu bersayap. Dan kalimat bersayapnya itu lepas dari konteks dan kontra dengan fakta. Ini yang jadi problem. Paham nggak? Coba simak baik-baik materi doa Neno itu dengan jernih.
Konteks doa Neno itu seperti ini. Kalau Prabowo kalah, lantas benarkah tidak ada lagi yang mau menyembah Allah? Atau dalam pengertian lain, apa iya kalau Jokowi menang (lagi) dalam pilpres ini, tidak ada lagi yang mau menyembah Allah?
Padahal sejak 2014, Jokowi sudah jadi presiden selama ini. Realitasnya bagaimana, apakah tidak ada lagi yang menyembah Allah selama ini?
Jadi kekhawatiran dalam doa Neno tidak beralasan dan menyimpang dari realitas. Doa Neno tidak lebih adalah doa frustasi dan kepanikannya dalam pertarungan politik ini, khususnya pilpres.
Doa Neno itu sama artinya dengan klaim bahwa baik sekarang saat Jokowi presiden ataupun nanti ketika Jokowi sebagai petahan kembali terpilih dan menang dalam pilpres: Tidak ada lagi yang menyembah Allah. Yang benar saja!
Jadi isi dan konteks doa Neno yang tidak tepat dengan realitas dan prospek ke depan. Doa tidak boleh lepas dari dan atau memungkiri konteks dan prospek.
Doa itu lebih kepada prospek. Doa adalah meminta sesuatu yang belum tercapai atau belum terealisasi berdasar konteks sebagai realitas. Sedangkan doa Neno pakai data hoaks. Doa yang tidak sesuai dan melawan fakta.
Fakta yang sebenarnya adalah masih ada kok yang menyembah Allah di era presiden Jokowi selama ini. Doa yang berlebihan jika Jokowi menang, dan Prabowo kalah lagi di kontestasi pilpres ini, lalu tidak ada lagi yang menyembah Allah. Absurd!
Doa itu berada pada ranah sakral. Sedangkan politik pilpres adalah profan. Keduanya berbeda ranah. Hal yang sakral dan profan adalah dua hal bertentangan. Jangan dicampuradukkan, karena bisa-bisa "jaka sembung", bisa-bisa tidak nyambung.
Doa Neno bukan doa Nabi saat perang Badar. Mengkiaskan (menganalogikan) doa Neno dengan doa Nabi saat perang Badar adalah kias batil (analogi salah dan sesat). Karena tidak relevan dan tidak ekuivalen.
Pertarungan politik pilpres bukan perang Badar. Bukan pertarungan kaum muslimin versus kaum kafir qureisy. Pemilu adalah pesta demokrasi biasa yang rutin digelar 5 tahun sekali. Peristiwa profan, bukan sakral.
Menganalogikan pilpres dengan perang Badar adalah analogi batil dan sesat, sebenarnya bukan sekali ini dilakukan kubu Prabowo. Pada pilpres 2014 yang lalu pun, adalah Amien Rais pernah menyatakan itu. Buktinya, Prabowo kalah dan Jokowi menang. Amien Rais dan kubu Prabowo saja yang selalu memainkan "politik gendruwo" (menakut- nakuti) dan ketakutan sendiri selama ini.
Lagian konteks dan realitasnya berbeda antara pertarungan politik pilpres dengan perang Badar zaman Nabi. Alasan kondisi darurat tidak tepat dan salah kaprah. Imajiner atau satire sekalipun. Padahal jelas-jelas ini sekadar sebagai politisasi agama. Berdoa kok berkampanye. Pakai data hoaks pula. Tidak lebih.
Inilah sebenarnya yang mereka lakukan sejak dini jelamg pilpres digelar. Kentalnya politik identitas dan sarat politisasi agama.
Terkait ini, menarik anekdot yang ditulis Prof. Nadirsyah Hosen dalam makalah orasi ilmiah pada Dies Natalis ke-73 Fakultas Hukum UGM tanggal 19 Pebruari 2019 yang lalu. Saya kutip sesuai redaksi aslinya.
At the gates of hell, an Indonesian guy, let say, Budi, meets Hitler, who killed 6 million Jews, and Pol Pot, who committed genocide against nearly 2 million Cambodians.They ask Budi: “How many people did you kill?”Budi replies, “None. Actually, I was a good Muslim who prayed five times a day, fulfilled my obligations of fasting at Ramadan, paying charity, and even visiting Mecca for the pilgrimage.”Both Hitler and Pol Pot are shocked to hear this. “So what exactly did you do, that you ended up here in the Hell?”“I am not sure; perhaps it was because I did not follow what the preachers said during Friday sermon, not to vote for Jokowi in the elections.”Back to Budi in Hell. Budi might well protest to God, “Why did you put me in Hell with Hitler and Pol Pot? Can’t you see that what I did is nothing, compared with them? Whom did you choose in the Indonesian presidential election?”God smiles. “Sorry, I was golput (an abstainer from voting)!”This anecdote illustrates the political tension leading up to the Indonesian parliamentary and presidential elections of April 2019, in particular, the return of the question of political identity to the Indonesian political atmosphere, in terms of religious affiliation.| Prof. Nadirsyah Hosen
Jawaban Budi (tokoh imajiner) adalah poinnya atas pertanyaaan, "Apa sebenarnya yang Anda lakukan sampai berujung masuk ke sini, ke neraka ini?"
"Saya juga tidak yakin -- apa yang saya sudah lakukan sampai masuk neraka ini -- mungkin karena saya tidak mengikuti apa yang disampaikan para khatib/dai dalam khutbah Jumat selama ini, untuk tidak memilih Jokowi dalam pilpres ini", kata Budi.
Bahkan ia memprotes Allah, karena tidak melakukan apa-apa (kejahatan apa pun yang menyebabkannya masuk neraka), untuk tidak membandingkannya dengan Hitler dan Pol Pot, yang sama-sama masuk neraka.
Pesannya, gegara mendukung Jokowi di pilpres kerap dituduh kafir, jahat dan ujungnya neraka. Bagaimana mungkin urusan pilpres dan kepentingan politik dikait-kaitkan ke.soal-soal agama; kafir, surga-neraka, dan seterusnya itu. Pun sebaliknya, doa yang sejatinya bersifat sakral.
Doa adalah permohonan. Doa juga perintah Allah. Dan Allah berjanji akan menjawab dan mengabulkan setiap doa. Begitu firman Allah dalam Kitab Suci-Nya, Alquran.
Hanya saja doa yang bagaimana. Saya menduga (firasat sepertinya) doa dalam kondisi frustasi dan kepanikan, seperti yang dirapalkan Neno Warisman lewat puisi dengan suara paraunya yang khas tampaknya bakal tidak diijabah oleh Allah. Karena doa ini pakai data hoaks dan absurd. Doa yang sudah melecehkan Allah. Tidak sopan pada Allah. Wallahu'alam bi al-shawwab. []
(Esai ini dipublikasikan pertama kali di Kompasiana tanggal 23 Pebruari 2019)
Komentar
Posting Komentar