17 April 2019, Hoaks, dan Delegitimasi Pemilu
SINDOnews |
Pagi ini, 17 April 2019, pesta demokrasi itu digelar. Tampak antusiasme warga bangsa menyambut pesta ini. Mereka berbondong-bondong menuju tps-tps. Menunaikan haknya untuk memilih capres dan cawapres, anggota DPR RI, anggota DPD RI, anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Soal pilpres, berbagai lembaga survei hampir semuanya menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin unggul dibanding Prabowo-Sandi. Isyarat kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin sudah di pelupuk mata. Hasil survei itu akan dibuktikan hari ini, paling tidak, sesuai (tidak jauh berbeda) dan berbanding lurus dengan hasil suara hitung cepat (quick count).
Hasil survei dan hitung cepat tentu bukan legalitas. Hanya KPU yang punya otoritas secara hukum terhadap hasil akhir pemilu. Hari ini, siapa pun nanti pemenangnya, keputusan KPU adalah legitimasi pemilu. Tapi jangan lupa, hasil survei dan hitung cepat (hemat saya) bisa 85 - 99 % akuratnya dengan hasil hitung KPU.
Menjelang hari ini, hari-hari kemarin disesaki banyak peristiwa yang memicu kian memanasnya atmosfir politik. Dari kasus Ratna Sarumpaet sampai yang terbaru kasus sudah tercoblosnya surat suara di negeri jiran, Malaysia.
Dari banyak peristiwa yang terjadi menjelang hari H pemilu 2019, bisa dirangkum kepada dua hal yang sangat mengganggu kontestasi pemilu, terutama pilpres kali ini.
Dua hal itu adalah menebar hoaks dan medelegitimasi pemilu 2019 ini, yang sudah-sudah dan akan terus dilakukan kubu 02. Pesta pora hoaks dan delegitimasi pemilu, dua hal yang saling berkelindan dalam kontestasi pemilu kali ini.
Tampaknya dua hal ini sengaja dilakukan (entah oleh siapa) secara sistemik dan terorganisasi secara rapi. Menduga kuat ini dilakukan kubu 02, sebagai oposisi, tentu saja.
Keberadaan KPU dan aparat Polri/TNI diserang bertubi-tubi dengan pernyataan tidak netral dan melakukan kecurangan. Menuduh bahwa KPU adalah perpanjangan tangan dan atau lebih pro pemerintah.
Meragukan kertas karton (kardus) sebagai kotak suara, viralnya hoaks 7 kontainer surat suara telah tercoblos, ancaman Amien Rais mengerahkan massa (people power) ke kantor KPU, hoaks server dan situs KPU diretas oleh orang dari luar negeri, maraknya politisasi agama, dan paling mutakhir, hebohnya kasus telah tercoblos ratusan surat suara di Selangor Malaysia. Itu semua kerjaan orang-orang dari kubu 02 selama ini.
Indikasi tebaran hoaks dan delegitimasi pemilu 2019 dari kubu 02 ini tampaknya akan terus berlanjut. Terutama hari ini menjelang sore ketika sudah diketahui hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei yang sudah resmi terdaftar di KPU, ketika pasangan 01 yang memenangkan kontestasi pilpres 2019 ini. Kubu 02 tampaknya berpotensi menolak kekalahan hasil hitung suara versi quick count ini.
Sampai saat KPU telah memutuskan pemenang pilpres ini, kubu yang kalah kemungkinan besar akan terus menuduh kubu yang menang telah melakukan kecurangan.
Jadi lebih parah lagi, bukan saja hasil hitung suara versi quick count yang ditolak, tapi juga hasil hitung suara secara manual versi KPU. Ini politik licik dan culas yang terbaca sejak awal.
Masih mending jika tuduhan itu dan keberatan kubu 02 atas hasil pemilu dilakukan melalui jalur hukum dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun yang dikhawatirkan dan harus diantisipasi oleh aparat keamanan adalah terjadinya anarkis dari massa pendukung kubu yang kalah.
Mudah-mudahan saja kekhawatiran ini salah. Artinya, itu tidak bakal terjadi. Pemilu berjalan damai, jujur, adil, dan sesuai hukum.
Yang jelas, inilah pemilu yang paling mencekam dan berbeda daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
Emosi publik tercabik-cabik. Kerukunan bangsa nyaris terkoyak. Persaudaran bangsa tampak terpecah belah.
Ini semua efek kemajuan teknologi telekomunikasi. Sehingga orang mudah mengakses pesan dan informasi lewat media-media sosial. Banjir bandang hoaks tak terbendung lagi. Semua orang hampir terbawa arus suasana pilpres ini.
Semua pihak, wabil khusus, aparat TNI dan Kepolisian, harus ekstra waspada dan antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Yaitu adanya upaya mencoreng wajah demokrasi kita dengan terus menebar hoaks dan medelegitimasi pemilu 2019 ini. PestaDemokrasiTanpaHoaks
Walaupun begitu, kita berharap dan optimis bahwa masing-masing kubu, baik yang menang maupun yang kalah sama-sama bisa menahan diri untuk tidak anarkis, menjunjung nilai persatuan dan kesatuan, menciptakan pemilu yang damai, siap menang dan siap kalah, sebagaimana janji bersama di awal kontestasi pemilu ini.
Ayo kita memilih. Menunaikan hak kita sebagai warga negara. Memilih putra-putra terbaik bangsa yang akan mengemban amanat rakyat. Pemimpin-pemimpin yang akan membawa bangsa dan negara ini untuk lebih baik, maju, sejahtera, adil dan makmur dalam 5 tahun ke depan. []
(Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana tanggal 17 April 2019)
Soal pilpres, berbagai lembaga survei hampir semuanya menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin unggul dibanding Prabowo-Sandi. Isyarat kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin sudah di pelupuk mata. Hasil survei itu akan dibuktikan hari ini, paling tidak, sesuai (tidak jauh berbeda) dan berbanding lurus dengan hasil suara hitung cepat (quick count).
Hasil survei dan hitung cepat tentu bukan legalitas. Hanya KPU yang punya otoritas secara hukum terhadap hasil akhir pemilu. Hari ini, siapa pun nanti pemenangnya, keputusan KPU adalah legitimasi pemilu. Tapi jangan lupa, hasil survei dan hitung cepat (hemat saya) bisa 85 - 99 % akuratnya dengan hasil hitung KPU.
Menjelang hari ini, hari-hari kemarin disesaki banyak peristiwa yang memicu kian memanasnya atmosfir politik. Dari kasus Ratna Sarumpaet sampai yang terbaru kasus sudah tercoblosnya surat suara di negeri jiran, Malaysia.
Dari banyak peristiwa yang terjadi menjelang hari H pemilu 2019, bisa dirangkum kepada dua hal yang sangat mengganggu kontestasi pemilu, terutama pilpres kali ini.
Dua hal itu adalah menebar hoaks dan medelegitimasi pemilu 2019 ini, yang sudah-sudah dan akan terus dilakukan kubu 02. Pesta pora hoaks dan delegitimasi pemilu, dua hal yang saling berkelindan dalam kontestasi pemilu kali ini.
Tampaknya dua hal ini sengaja dilakukan (entah oleh siapa) secara sistemik dan terorganisasi secara rapi. Menduga kuat ini dilakukan kubu 02, sebagai oposisi, tentu saja.
Keberadaan KPU dan aparat Polri/TNI diserang bertubi-tubi dengan pernyataan tidak netral dan melakukan kecurangan. Menuduh bahwa KPU adalah perpanjangan tangan dan atau lebih pro pemerintah.
Meragukan kertas karton (kardus) sebagai kotak suara, viralnya hoaks 7 kontainer surat suara telah tercoblos, ancaman Amien Rais mengerahkan massa (people power) ke kantor KPU, hoaks server dan situs KPU diretas oleh orang dari luar negeri, maraknya politisasi agama, dan paling mutakhir, hebohnya kasus telah tercoblos ratusan surat suara di Selangor Malaysia. Itu semua kerjaan orang-orang dari kubu 02 selama ini.
Indikasi tebaran hoaks dan delegitimasi pemilu 2019 dari kubu 02 ini tampaknya akan terus berlanjut. Terutama hari ini menjelang sore ketika sudah diketahui hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei yang sudah resmi terdaftar di KPU, ketika pasangan 01 yang memenangkan kontestasi pilpres 2019 ini. Kubu 02 tampaknya berpotensi menolak kekalahan hasil hitung suara versi quick count ini.
Sampai saat KPU telah memutuskan pemenang pilpres ini, kubu yang kalah kemungkinan besar akan terus menuduh kubu yang menang telah melakukan kecurangan.
Jadi lebih parah lagi, bukan saja hasil hitung suara versi quick count yang ditolak, tapi juga hasil hitung suara secara manual versi KPU. Ini politik licik dan culas yang terbaca sejak awal.
Masih mending jika tuduhan itu dan keberatan kubu 02 atas hasil pemilu dilakukan melalui jalur hukum dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun yang dikhawatirkan dan harus diantisipasi oleh aparat keamanan adalah terjadinya anarkis dari massa pendukung kubu yang kalah.
Mudah-mudahan saja kekhawatiran ini salah. Artinya, itu tidak bakal terjadi. Pemilu berjalan damai, jujur, adil, dan sesuai hukum.
Yang jelas, inilah pemilu yang paling mencekam dan berbeda daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
Emosi publik tercabik-cabik. Kerukunan bangsa nyaris terkoyak. Persaudaran bangsa tampak terpecah belah.
Ini semua efek kemajuan teknologi telekomunikasi. Sehingga orang mudah mengakses pesan dan informasi lewat media-media sosial. Banjir bandang hoaks tak terbendung lagi. Semua orang hampir terbawa arus suasana pilpres ini.
Semua pihak, wabil khusus, aparat TNI dan Kepolisian, harus ekstra waspada dan antisipasi dari hal-hal yang tidak diinginkan. Yaitu adanya upaya mencoreng wajah demokrasi kita dengan terus menebar hoaks dan medelegitimasi pemilu 2019 ini. PestaDemokrasiTanpaHoaks
Walaupun begitu, kita berharap dan optimis bahwa masing-masing kubu, baik yang menang maupun yang kalah sama-sama bisa menahan diri untuk tidak anarkis, menjunjung nilai persatuan dan kesatuan, menciptakan pemilu yang damai, siap menang dan siap kalah, sebagaimana janji bersama di awal kontestasi pemilu ini.
Ayo kita memilih. Menunaikan hak kita sebagai warga negara. Memilih putra-putra terbaik bangsa yang akan mengemban amanat rakyat. Pemimpin-pemimpin yang akan membawa bangsa dan negara ini untuk lebih baik, maju, sejahtera, adil dan makmur dalam 5 tahun ke depan. []
(Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana tanggal 17 April 2019)
Komentar
Posting Komentar