Bersama Kompasiana, Menulis Itu Cinta
Kompasiana |
Ada yang bilang, cinta itu menetap. Tak pernah menguap. Cinta adalah keabadian.
Nafas lebih lama dari cinta. Tapi cinta lebih purba dari nafas. Cinta tak pernah berakhir. Tapi nafas berhenti.
Nafas boleh berbatas, tapi cinta tak. Cinta akan terus hidup bebas menembus batas. Batas ruang dan waktu. (Eit...jadi kayak pujangga).
Pun menulis. Menulis itu cinta. Jejaknya tak pernah berakhir, walaupun nafas ini berhenti. Menulis itu haikatnya untuk keabadian.
Makanya, kata Sang Maestro sastra, Pramoedya Ananta Toer, bahwa, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian."
Jika Anda ingin hidup 1000 tahun pun, bahkan abadi sepanjang masa, maka menulislah. Karena menulis adalah denyut nadi itu sendiri.
Segitu pentingnya menulis itu, bahkan Imam al-Ghazali memberikan motivasi dengan kata-katanya yang sangat populer, "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis."
Dalam syair Arab dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu ibarat binatang buruan. Dan menulis itu sebagai pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan ikatan yang sangat kuat. Adalah dungu, jika seseorang membiarkan kijang lewat di hadapannya bergerak liar begitu saja, tanpa menangkap dan mengikatnya.
Sampai-sampai Tuhan mengelaborsi pesan pertamanya dalam Alquran tentang pentingnya literasi (membaca dan menulis), dengan isyarat "Iqra" dan "al-qalam". Bukan yang lain-lain. Jadi, bisa dibilang, literasi adalah yang pertama dan utama. Literasi itu lebih penting dari yang penting lainnya.
"Iqra bi ismi rabbika allazi khalaq. Khalaqa al-insana min 'alaq. Iqra wa rabbuka al-akram. Allazi 'allama bi al-qalam. 'Allama al-insana ma lam ya'lam..." (Alquran Surat al-'Alaq 1 - 5)
Ayo terus menulis! Memahat kata, mengukir kalimat, mengikat makna. Tetap berkarya, selalu berbagi, dan terus menginspirasi. Ikut mencerdaskan dengan giat menularkan virus dan tradisi literasi bersama Kompasiana.
Saya sebenarnya sudah lama mengenal Kompasiana. Sayang, saya memang agak lambat bergabung dengan Kompasiana. Baru dua bulan terakhir ini, saya bergabung menjadi Kompasianer. Namun begitu, sebagai Kompasianer baru, saya sudah merasa at home di sini. Nyaman dan menyenangkan juga.
Tentu tidak sekadar itu, Kompasiana sudah memberikan ruang yang luas, ramah dan penuh apresiasi untuk saya berkreasi mengekspresikan hobi saya menulis.
Apalagi ternyata apresiasi Kompasiana berlebih lewat Go-Pay. Kalau Go-Pay-nya cair, pasti senang sebagai tanda syukur pada Tuhan dan terima kasih kepada Kompasiana yang sudah mengapresiasi dan menyemangati girah Kompasianer untuk terus menulis dengan baik dan berkualitas.
(Esai ini dipublikasikan di Kompasiana tanggal 02 April 2019)
Komentar
Posting Komentar