Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2019

Kenapa Tetap Harus Jokowi, dan Tidak Prabowo?

Gambar
Tampak Jokowi tersenyum didampingi istrinya. Sementara Prabowo begitu mesra dicium kudanya. Kurang dari enam puluh hari lagi pilpres digelar. Atmosfirnya sudah makin memanas. Kedua kubu capres saling menyerang tak terelakkan. Dua kali debat sudah berlalu. Debat menyisakan debat. Berdebat tentang debat terus bergulir. Memengaruhi atau tidak untuk pemilih, terutama yang belum menentukan pilihannya, bukan masalah.  Akhirnya, alih-alih meredam suasana yang makin memanas ini, justru berdebat tentang debat capres ini makin menambah suhu yang sudah memanas itu, bahkan mendidih dan menguap, sehingga membuat kusut, hiruk-pikuk dan berisik luar biasa di lini masa. Segala cara dilakukan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto - Sandiaga S. Uno untuk menyerang dan menjatuhkan petahana. Politisasi agama, menyebar fitnah dan hoaks terus dilancarkan. Sampai-sampai pulpen dan  earphone  pasca debat kedua pun menjadi sasaran fitnah. Ini jelas isyarat. Isyarat mak...

Menulis Itu Cinta

Gambar
Ada yang bilang, cinta itu menetap. Tak pernah menguap. Cinta adalah keabadian. Nafas lebih lama dari cinta. Tapi cinta lebih purba dari nafas. Cinta tak pernah berakhir. Tapi nafas berhenti. Nafas boleh berhenti, tapi cinta tak. Cinta akan terus hidup. Pun menulis. Menulis itu cinta. Jejaknya tak pernah berakhir, walaupun nafas ini berhenti. Makanya, kata Maestro penulis, Pramudya Ananta Toer bahwa menulis itu untuk keabadian. Jika Anda ingin hidup 1000 tahun pun, bahkan abadi sepanjang masa, maka menulislah. Karena menulis adalah denyut nadi itu sendiri. Segitu pentingnya menulis itu, bahkan Imam al-Ghazali memberikan motivasi dengan kata-katanya yang sangat populer, "Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis."  Dalam syair Arab dikatakan bahwa ilmu pengetahuan itu ibarat binatang buruan. Dan menulis itu sebagai pengikatnya. Maka ikatlah buruanmu dengan ikatan yang sangat kuat. Adalah hal yang dungu, jika seseorang membia...

Dan Tuhan Pun 'Sakit'

Gambar
pixabay.com Beberapa bulan ke depan, pesta itu baru akan digelar. Pesta demokrasi, pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019, persisnya. Sejatinya pesta ini disambut dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Pesta ini diadakan 5 tahun sekali. Pesta yang akan memilih dan menentukan wakil-wakil rakyat terhormat yang akan duduk sebagai anggota-anggota MPR/DPR dan presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan. Mereka adalah representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Mengemban amanat, pengabdian, dan pelayanan kepada negara dan bangsa selama 5 tahun. Alih-alih disambut gembira, jelang pesta digelar, justru nuansa panas dan gaduh luar biasa sudah mulai tampak dan terasa. Pesta ini semestinya kompetesi sehat, beradu gagasan dan program untuk kebaikan dan kemajuan negeri ini. Berakal sehat yang otentik. Bukan sekadar menjajakan akal sehat palsu. Berputar-putar berkeliling memanipulasi akal sehat. Seperti yang dilakukan Rocky Gerung hari-hari ini, jelang pilpres 201...

Puisi Fadli Zon Turunkan Elektabilitas Capresnya

Beberapa lembaga survei menyatakan bahwa capres petahana masih lebih unggul elektabilitasnya daripada capres oposisi. Terakhir LSI Deny JA, salah satunya yang menyatakan itu. LSI mensurvei tentang ke mana suara dari beberapa katagori pemilih itu berlabuh: Joko Widodo - Ma'ruf Amin atau Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.

Menakar GPS, Bahaya dan Faedahnya

Gambar
tribunnews.com Dalam prinsip dasar hukum Islam (usul fikih) dinyatakan, " Dar-ul mafasid muqaddam 'ala jalbil masalih" . Artinya, mendahulukan untuk mengabaikan hal yang merusak (membahayakan) itu lebih baik daripada memilih hal yang berfaedah. Poinnya pada kalimat, "mendahulukan untuk mengabaikan atau menghindari keburukannya". Karena efek keburukannya (negatifnya) lebih besar ketimbang faedahnya. Dalam pengertian lain, bahwa jika kita dihadapkan pada persoalan, manakah yang harus didahulukan atau diutamakan: kerusakannya (bahayanya) yang ditimbulkan itu lebih besar ketimbang faedahnya yang dirasakan? Ini adalah soal menakar. Memperhitungkan dan mempertimbangkan berdasarkan rasionalisasi atas dua pilihan: Bahaya dan faedahnya. Bahayanya lebih besar daripada faedahnya. Walaupun bisa jadi faedahnya lebih kecil tetapi lebih penting. Prinsip itu mengajarkan, tinggalkan lebih dulu yang lebih besar bahayanya. Dan bersikap lebih baik memilih faedahnya (...

Amien Rais yang Makin Absurd

Siapa yang tidak kenal Amien Rais (AR). Pernah dijuluki Bapak Reformasi. Karena AR adalah salah seorang tokoh yang ikut unjuk rasa turun ke jalan pada Mei 1998 bersama mahasiswa menuntut Soeharto mundur. Hanya sekali saya pernah ketemu Amien Rais. Di saat acara akad nikah putri fungsionaris PAN dan anggota DPR, Sabri Saiman. Di rumahnya, di Kebon Bawang Tanjung Priok Jakarta Utara. AR itu orangnya ramah dan bersahaja (low profile). Ketika itu ia didaulat memberi nasihat perkawinan. Saya tidak banyak ngobrol. Ia hanya say hello pada saya dan berjabat tangan saja. AR kalau bicara lugas. Langsung pada poinnya. Pernyataannya sering dikutip oleh pers, karena diksi yang digunakan AR menarik dan agak-agak nyeleneh. Saya dulu sempat mengagumi AR melalui tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisannya ini dibukukan. Saya hanya mengenal dua buku, karya AR. Buku Cakrawala Islam dan Selamatkan Indonesia. Mungkin banyak bukunya yang sudah diterbitkan. Tapi hanya dua itu yang saya kenal. Buku-buku ...

Pondok Pesantren dalam Pusaran Politik Pilpres 2019

Gambar
Gontor.ac.id Jelang Pemilu serentak 2019, atmosfir politik kian hari kian memanas. Terutama pilpresnya. Pileg kurang gereget. Perang baliho dan tebar poster caleg di setiap sudut kota/kampung, pinggir jalan dan ruang publik benar sudah mulai semarak. Tapi nuansanya berbeda dengan pilpres. Pilpres lebih besar menyedot perhatian dan emosi publik. Berita tebar pesona dan perang opini antar dua kubu capres dan cawapres lebih viral di linimasa dan media sosial, daring-luring. Gaduh dan sesak luar biasa. Saling serang dari dua kubu di pilpres tidak bisa dibendung. Pertempuran petahana vs oposisi memengaruhi emosi dan respons publik tak terelakkan.  Sampai-sampai sulit membedakan, mana petahana dan mana oposisi. Karena saling menyerang itu. Muncullah, term "petahana rasa oposisi".  Padahal petahana bersuara nyaring untuk berusaha menjawab dengan data dan menampik tuduhan oposisi yang ditenggarai tanpa bukti. Bukan menyerang, tapi justru mengklarifikasi. Salah sat...

Kenapa Mesti Takut Filsafat?

Gambar
sadra.co.id Saya seorang ayah. Istri saya empat anaknya. Yang pertama kuliah di Universitas Padjajaran. Baru masuk. Mengambil jurusan ekonomi.  Kedua, ketiga dan keempat secara beruntun masih di SMA, SMP dan SD. Semuanya masih dalam usia sekolah. Di swasta semua. Sengaja. Swasta agak beda. Bagus. Negeri ada beberapa. Bagus juga. Berarti masih perlu biaya? Jangan ditanya. Tapi saya mau cerita anak saya yang pertama. Saat lulus SMA dulu, dia gamang. Memilih jurusan apa nanti kuliah. Biasa ini. Hampir dialami anak yang baru lulus SMA. Apalagi anak sosial. Seperti anak saya. Belum lagi dibayangi, lulus atau tidak di SBMPTN. Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kuliah di negeri saja. Di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Swasta mahal. Tapi, ternyata negeri juga mahal. Tidak seberapa. Dibanding swasta. Swasta lebih mahal lagi. Banyak jurusan. Banyak juga PTN. Tapi tidak sedikit peminat. Yang ikut tes SBMPTN ini, membludak. Harus bersaing ketat. Harus pintar-pintar me...